masukkan script iklan disini
Jakarta (ANTARA News) – Pola pertanian organik yang bersih dari bahan-bahan kimia sintetis seperti pestisida, berkembang kiat pesat di Indonesia, kata Sebastian Saragih, Presiden Aliansi Organis Indonesia di Jakarta, Selasa.
Menurut data Statistik Pertanian Organik Indonesia 2010, pada tahun yang sama luas area pertanian organik di Indonesia mencapai 239.872,24 hektar.
Jumlah yang diklaim 10 persen lebih luas dari tahun 2009 itu mencakup luas lahan pertanian organik yang telah disertifikasi, yang sedang dalam proses sertifikasi, sertifikasi Penjaminan Mutu Organis Indonesia (PAMOR), dan tidak bersertifikasi.
“Dari gambaran itu kita bisa menyimpulkan bahwa perdagangan produk pertanian organik sedang bertumbuh pesat,” kata Sebastian dalam ‘Talk Show’ bertema Pertanian Organik Solusi Pangan Sehat dan Berkeadilan.
Selain terus bertambahnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian organik, Aliansi Organis Indonesia juga mencatat semakin meningkatnya jumlah produsen komoditas organik, demikian juga ragam komoditas organik yang dibudidaya, merk dagang organik, dan pemasok ke pengecer seperti super market.
“Yang tak kalah menarik adalah kecendrungan restoran besar menggunakan beras organik sebagai penarik pelanggan,” papar Sebastian lebih lanjut.
Akan tetapi di tengah perkembangan yang pesat itu, AOI juga melihat potensi bahaya peminggiran petani organik berskala kecil. Bahaya itu datang dari proses sertifikasi komoditas organik sesuai dengan Standard Nasional Indonesia Sistem Pangan Organik yang disahkan oleh Badan Standardisasi Nasional.
Menurut AOI, penggunaan standard itu memang bertujuan melindungi konsumen dan petani organik agar tidak dirugikan oleh para pemalsu produk organik. Tetapi biaya sertifikasi yang mahal dan standar serta proses sertifikasi yang tidak sesuai dengan budaya petani bisa menyingkirkan para petani kecil.
“Biaya sertifikasi untuk wilayah Jawa misalnya berkisar 5 sampai 15 juta rupiah perunit usaha tani padahal rata-rata luas lahan petani di bawah satu hektar,” ujar Sebastian lebih lanjut.
Karenanya AOI melihat pentingnya membebaskan petani berskala kecil dari keharusan membuat sertifikat, membuat regulasi yang sesuai budaya petani, pengakuan sistem penjaminan berbasis komunitas, dikungan dana sertifikasi, dan mengkampanyekan perdagangan yang adil.
(Ber)
Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © 2011tani modern
Menurut data Statistik Pertanian Organik Indonesia 2010, pada tahun yang sama luas area pertanian organik di Indonesia mencapai 239.872,24 hektar.
Jumlah yang diklaim 10 persen lebih luas dari tahun 2009 itu mencakup luas lahan pertanian organik yang telah disertifikasi, yang sedang dalam proses sertifikasi, sertifikasi Penjaminan Mutu Organis Indonesia (PAMOR), dan tidak bersertifikasi.
“Dari gambaran itu kita bisa menyimpulkan bahwa perdagangan produk pertanian organik sedang bertumbuh pesat,” kata Sebastian dalam ‘Talk Show’ bertema Pertanian Organik Solusi Pangan Sehat dan Berkeadilan.
Selain terus bertambahnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian organik, Aliansi Organis Indonesia juga mencatat semakin meningkatnya jumlah produsen komoditas organik, demikian juga ragam komoditas organik yang dibudidaya, merk dagang organik, dan pemasok ke pengecer seperti super market.
“Yang tak kalah menarik adalah kecendrungan restoran besar menggunakan beras organik sebagai penarik pelanggan,” papar Sebastian lebih lanjut.
Akan tetapi di tengah perkembangan yang pesat itu, AOI juga melihat potensi bahaya peminggiran petani organik berskala kecil. Bahaya itu datang dari proses sertifikasi komoditas organik sesuai dengan Standard Nasional Indonesia Sistem Pangan Organik yang disahkan oleh Badan Standardisasi Nasional.
Menurut AOI, penggunaan standard itu memang bertujuan melindungi konsumen dan petani organik agar tidak dirugikan oleh para pemalsu produk organik. Tetapi biaya sertifikasi yang mahal dan standar serta proses sertifikasi yang tidak sesuai dengan budaya petani bisa menyingkirkan para petani kecil.
“Biaya sertifikasi untuk wilayah Jawa misalnya berkisar 5 sampai 15 juta rupiah perunit usaha tani padahal rata-rata luas lahan petani di bawah satu hektar,” ujar Sebastian lebih lanjut.
Karenanya AOI melihat pentingnya membebaskan petani berskala kecil dari keharusan membuat sertifikat, membuat regulasi yang sesuai budaya petani, pengakuan sistem penjaminan berbasis komunitas, dikungan dana sertifikasi, dan mengkampanyekan perdagangan yang adil.
(Ber)
Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © 2011tani modern