masukkan script iklan disini
Prasetyo Budi _ Potret Pertanian - 00:45 02/09/16 " Petani" Apa yang terpikir oleh anda jika mendengar kata tersebut, Ladang, sawah
lumpur tanaman pekerja keras atau bahkan banting tulang, petani memang
indentik dengan kata-kata diatas, tapi sadarkah kita dengan adanya
petani, dengan sebuah profesi yang identik dengan lumpur disawah. Tanpa
mereka mungkin saat ini kita taklagi bisa hidup, mau makan apa kita
tanpa petani, karena hasil kerja keras petani bergulat dengan lumpur,
memeras keringat ditengah panas dan hujan demi menghasilkan produk
pertanian yang selanjutnya dapat akan kita konsumsi demi memenuhi
kebutuhan sehari-hari dalam hal makan.
Sumber gambar : http://kanalsatu.com |
Sebelum nya saya ingin bertanya kepada sahabat semua, “ apakah anda masih Makan Nasi dari beras sekarang, Apakah anda masih konsumsi sayur, daging dan dari hasil pertanian lainya.?” Jika jawaban anda Tidak !. lebih baik urungkan niat anda untuk membaca artikel ini, silahkan klik dibagian pojok kanan atas disidebar search dan cari artikel lain dalam Blog ini. Tapi jika jawaban anda adalah iya, anda wajib membaca artikel ini sampai tuntas. Nah bagaimana bersiap-siaplah untuk membaca dengan seksama dan nanti silahkan tinggalkan komenar dikolom komentar dibagian bawah artikel postingan ini.
Petani pada umumnya tinggal didesa-desa atau tempat-tempat yang masih banyak lahan pertaniananya, jauh dari hiruk pikuk indahnya lampu-lampu jalan yang menghiasi setiap sudut kota nanindah, petani yang hidup kadang dalam garis kemiskinan didearah-daerah terpencil yang jauh dari fasilitas Negara yang seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali, masih banyak petani yang masih menggunakan lampu Ublik atau lentera dari minyak tanah sebagai bahan penerangan karena tidak adanya akses PLN ditempat mereka.
Petani adalah pilar terpenting bagi ketahan pangan sebuah Negara. Bukankah pada waktu lalu Indonesia yang dibilang Negara Agraris, yang tanahnya subur, dan apapun bisa ditanam di tanah negeri ini, tapi alangkah ironisnya jika kedelai kita impor dari Negara tetangga, bagaimana dengan beras? Bukankah saat ini juga masih impor dari Negara tetangga, Lalu pertanyaanya apakah petani di negeri kita tidak bisa menam kedelai ?, apakah petani kita tidak bisa menanam padi disawah mereka? Jawabanya adalah Bisa, tapi kemauan petani yang harus kita pertanyakan, apakah petani mau atau tidak menanam tanaman tersebut.! Dan Bukankah itu semua bisa dibudidayakan ditanah kita,?!.
Nah mari kita renungkan sejenak kenapa terjadi kasus kasus yang saya sebutkan diatas, Pernahkah terpikir atau sekedar terlintas dipikiran kita bagaimana susahnya untuk menghasilkan sebuah produk pertanian, yuk kita kupas bersama fakta Unik Nasib di Negeri Ini.
Untuk menghasilkan sebuah produk pertanian banyak hal yang harus dilakukan oleh petani, mulai pengolahan, penyiapan bibit perawatan dan lain sebaainya
Pengolahan lahan pertanian dan selanjutnya akan digunakan sebagai media tempat untuk membudidayakan tanaman tertentu, dalam pengolahan lahan ini bisa membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit taksiran analisa budidaya padi dari mulai awal sampai panen menurut sebagai berikut.
dengan luasan 1 Ha sawah pada 1 kali musim tanam adalah sebagai berikut :
No. Uraian Jumlah (Rp)
A. Modal
1 Benih, 30 kg @ Rp. 8.000 240.000
2 Pupuk kandang 1000 kg @ Rp. 1.000 1.000.000
3 Pupuk Urea, 150 kg @ Rp. 1.300 195.000
4 Pupuk SP36, 100 kg @ Rp. 2.200 220.000
5 Pupuk NPK Ponska 300 kg @ Rp. 2.300 690.000
6 Petroganik, 1000 kg @ Rp. 500 500.000
7 Pestisida / Insektisida, 2 liter @ Rp. 75.000 150.000
Jumlah Modal (A) 2.995.000
B. Biaya Operasional / Upah Kerja
1 Pengolahan lahan 30 HOKp @ 30.000 atau borongan 900.000
2 Pencabutan bibit + penanaman 20 HOKw @ Rp. 17.500 350.000
3 Penyiangan + pemupukan ke-1 16 HOKp @ Rp. 30.000 480.000
4 Penyiangan + pemupukan ke-2 16 HOKp @ Rp. 30.000 480.000
5 Penyemprotan 4 HOKp @ Rp. 30.000 120.000
6 Panen dan pasca panen 12 HOKp @ Rp. 30.000 360.000
7 Biaya pengeringan 8 HOKp @ Rp. 30.000 240.000
Jumlah Biaya Operasional (B) 2.930.000
Pengeluaran (A+B) 5.925.000
A. Pendapatan
Hasil Panen misalkan 7,5 ton GKP per hektar. Setelah dikeringkan susut 18 %, maka hasilnya 6,15 ton GKG per hektar.
Harga 1 kg GKG adalah Rp. 3.500.
Maka hasil yang diperoleh = 6.150 kg x Rp. 3.500
= Rp. 21.525.000.
B. Keuntungan
= Pendapatan – Biaya Pengeluaran
= Rp. 21.525.000 – Rp. 5.925.000
= Rp. 15.600.000
Bila dalam 1 musim tanam adalah 4 bulan, berarti dalam 1 bulan keuntungannya
= Rp. 14.765.000 : 4 bulan
= Rp. 3.691.250
Bagaimana
melihat table analisa usaha tani padi sawah diatas, Pertanyaanya apakan
semua petani bisa melakukan hal seperti diatas, pada kenyataanya yang
bisa melakukan hal tersebut adalah Pengusaha Pertanian bukan Petani,
lalu bagimana dengan petani yang tidak mempunyai cukup modal sebanyak
Rp. 5.000.000,- tersebut.lalu bagimana dengan petani yang hanya bisa
membudidayakan separo dari analisis diatas, bahakan hanya sperempatnya
dari analisis tersebut. Jika petani hanya bisa membudidayakan
setengahnya saja artinya petani mempunyai keuntungan Rp. 1.845.625,-
selama 1 bulan masa panen. Jika sebagian petani hanya bisa
membudidayakan seperempatnya bagaimana bukankah petani akan mendapatkan
untung sebanyak Rp. 922.812,- selama 1 bulan, itupun jika hasil yang
mereka dapat sesuai dengan standar, dan tidak mengalami pembengkakan
dalam biaya perawatan, dari mulai pemupukan dan pengendalian hama dan
penyakit. Sementara harga pestisida dan pupuk yang semakin melambung
harganya. Sementara harga pupuk diatas adalah harga pupuk bersubsidi,
lalu bagaimana jika petani tidak bisa mendapatkan harga pupuk
bersubsidi, karena faktanya sebagian pupuk subsidi tak pernah sampai
dipetani, apalagi dibagian bagian pelosok yang susah dijangakau. Yang
harganya sampai Rp. 110.000,- , Sp 36 Rp. 140.000 dan ponska bisa
mencapai harga Rp.140.000,- lebih.
sumber gambar http://kelompokternakpucakmanik.blogspot.co.id/ |
Ini
adalah fakta yang terjadi dilapangan tak banyak petani yang beruntung
untuk mendapatkan harga pupuk subsidi pemerintah, pupuk yang seharusnya
dinikmati petani menjadi santapan empuk para distributor nakal yang
oper-oper pupuk kedaerah lain dengan harga jual yang tinggi, sesampainya
dikios pengecer pun begitu, pupuk sengaja ditimbun dan dijual setelah
dengan harga yang tinggi setelah jangka waktu tertentu. Petani hanya
menjadi bahan kambing hitam bagi sebagian distributor dan pengecer pupuk
yang nakal untuk meraup keuntungan yang banyak.
Belum
lagi setelah panen haraga sudah jadi permainan tengkulak dengan alas an
barang banjir sehingga membuat harga semakin rendah dipasaran, Peran
penting pemerintah hanya sebagi formalitas dengan adanya bulog yang akan
menyetabilkan harga komoditi terutama pada gabah kering. Nyatanya harga
ditingkat akar rumput semakin membuat petani terpurukdan merugi.
Pemerintah
terkesan meng anak tirikan petani, faktanya jika harga beras naik saja
sedikit pemerintah sudah rebut untuk mengimpor beras dari luar negeri
untuk oprasi pasar, sehingga akan membuat melemahnya harga hasil panen
petani yang seharusnya bisa mendapatkan sedikit keuntungan dari naiknya
harga beras dan padi dipasaran. Lagi- lagi petani hanya bisa mengelus
dada dan bersabar menghadapi semua ini.
Bak
sudah jatuh tertimpa tangga, sudah hasil panen kurang baik, harga pupuk
tinggi harga pestisida juga melambung sedangkan harga panen murah
meriah, inilah hal yang membuat para petani kita malas untuk bercocok
tanam tanaman pangan, yang ahirnya banyak petani yang memutar haluan
mengubah lahan pertanian pangan menjadi lahan perkebunan, seperti kelapa
sawit dan karet, sehingga membuat lahan produktif menjadi semakin
berkurang semakin hari, sebaian petani banyak yang mengubah profesi
mereka yang tadinya petani sekarang banyak menjadi buruh kuli bangunan.
Jawabanya
petani kita diindonesia bisa menanam apa saja, tapi enggan untuk
menanamnya. Karena dirasa tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka
dari bertani. Mereka lebih memilih usaha lain yang lebih menguntungkan,
dengan berkebun dan menjadi kuli bangunan yang lebih menjanjikan.
Faktanya bekerja menjadi kuli bangunan lebih menguntungkan dengan gaji
Rp.50.000 sampai Rp.70.000 dibanding dengan bekerja di lading petani
yang hanya digaji Rp.30.000 perharinya. Yang membuat petani yang masih
bertahan kesulitan untuk mendapatkan tenaga kerja diladang mereka.
Disinilah
mungkinletak permasalahanya kenapa kita harus impor bahan pangan dari
luar negeri yang seharusnya bisa kita budidayakan ditanah kita yang
subur, serta campur tangan pemerintah yang kurang sampai kepada petani
kecil dinegeri ini, terlebih pada penyaluran hak-hak yang seharusnya
milik petani yang dirampas orang-orang korup dan serakah dan Berjaya
dinegeri ini. Orang yang menggadaikan petani demi keuntungan mereka
sendiri.
Wahai
pemerintah dengarkan kami petani kecil yang tersungkur di tanah yang
subur, yang airmata kami mengelir bersama keringat dan kering kembali
karena panasnya terik matahari demi memenuhi kebutuhan pangan dinegeri
ini, kembalikan hak-hak kami sebagi warga Negara yang kami cintai,
jangan hanya melihat kami dari jauh dengan hanya duduk ditmpat yang
empuk dan ber ace, tindak semua oranng yang telah merampas hak yang
seharusnya menjadi bagian kami. Kami yang seharusnya menjadi makmur
sebagi pembuat hasil pangan tapi kenyataanya kami miskin dengan segala
kekurangan kami.
Demikian
sahabat Potret Pertanian yang baik dimanapun berada, jika artikel ini
dirasa penting tolong di share supaya bisa dibaca oleh orang orang
diatas sana, mohon maaf jika dalam tulisan ini bahasanya kurang tepat
baik dalam penyusunan tata kata dan bahasanya. Karena saya adalah
seorang anak petani bukan jurnalis yang pawai dalam merangkai kata demi
kata. Ahir kata salam sukses selalu dari kami petani desa Potret
Pertanian.