masukkan script iklan disini
POTRET PERTANIAN - "Infrastruktur dan Tahun Politik 2019" Penulis: Effnu Subiyanto Advisor Cikalafa-Umbrella, Direktur Koalisi Rakyat Indonesia Reformis (Koridor).
ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah |
MESKI tetap dalam bayang-bayang suram ekonomi karena efek perang dagang AS versus Tiongkok, ekonomi Indonesia memberikan pengharapan karena sejumlah kebijakan yang sudah digulirkan pemerintah. Kebijakan-kebijakan akan menjadi stimulus dan daya dorong di tengah tahun suksesi 2019 yang pada umumnya memecah konsentrasi elite pemerintah dan pimpinan korporasi.
Stimulus tersebut ialah relaksasi pajak UKM menjadi 0,5% dalam PP Nomor 23/2018 mulai berlaku 1 Juli 2018 untuk UKM dengan omzet maksimal Rp4,8 miliar setahun. Sektor UKM dan UMKM ialah bidang penting mengingat ada 60 juta UKM dan UMKM di Indonesia.
Berikutnya insentif fiskal juga diberikan kepada sektor properti. Sektor ini dihujani fasilitas dari Bank Indonesia (BI) berupa kebijakan loan to value (LTV), kemudian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan keputusan untuk menurunkan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR), dan kini Kementerian Keuangan akan memberikan diskresi penghapusan pajak pembelian rumah, yaitu PPh 22 dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Pemerintah rupanya akan mendorong sektor ini karena kontribusinya dalam menjaga pertumbuhan ekonomi cukup tinggi jika dibandingkan dengan sektor lain.
Pelanjutan proyek
Yang membuat ekonomi Indonesia cukup optimis di 2019 meskipun bersamaan dengan jadwal pemilu ialah komitmen untuk tetap melanjutkan proyek-proyek infrastruktur. Sisi jalan tol akan segera dioperasikan 13 ruas jalan tol sampai Desember 2018. Pada Oktober 2018 sudah dapat dipastikan 4 ruas tol baru siap operasional, yakni ruas tol Pejagan-Pemalang seksi 3 dan 4, Pemalang-Batang jalur Sewaka-Simpang Susun Pemalang, Solo-Ngawi, dan Ciawi-Sukabumi seksi 1 Ciawi-Cigombong.
Kinerja penyelesaian proyek jalan tol cukup mengesankan karena sejak 2015-2017 panjang ruas tol baru di Indonesia bertambah 332 kilometer. Pada periode Januari sampai September 2018 panjang tol baru yang beroperasi ialah 136,1 kilometer. Jika target operasional tol sampai Desember tercapai sebanyak 13 ruas tol baru, Pemerintahan Jokowi membukukan kinerja penambahan panjang tol baru 473,9 kilometer atau terpanjang dari beberapa Presiden RI sebelumnya. Mengingat bahwa sejak 1975 sampai 32 tahun berikutnya, tercatat pemerintah hanya mampu menambah panjang tol Indonesia hanya sekitar 663,77 kilometer. Artinya, pertambahan panjang tol per tahun rata-rata ialah 20,74 kilometer.
Sebagai driver
Peran pemerintah dalam hal ini berfungsi karena menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi bagi gerbong-gerbongnya. Sektor industri dan manufaktur bergerak karena kebijakan pemerintah, rakyat memperoleh lapangan pekerjaan, dan sebagai gantinya pemerintah mendapatkan sumber pemasukan pajak dan garansi pertumbuhan ekonomi.
Risikonya memang utang disebabkan pendanaan dari pajak tidak cukup, betapa pun masih dalam level sangat aman. Utang pemerintah per 31 Agustus 2018 memang naik Rp110 triliun atau tumbuh 2,59% menjadi Rp4.363,19 triliun jika dibandingkan dengan Juli sebesar Rp4.253 triliun. Namun, rasio utang pada periode sama masih 30,31% dari PDB, atau sangat aman. Hal itu karena berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara batas maksimal utang ialah 60% dari PDB. Untuk perbandingan rata-rata rasio utang negara sekawasan, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Vietnam, berada di atas 40% terhadap PDB.
Fungsi trigger atau pemicu Pemerintahan Jokowi artinya berfungsi dengan baik di tengah-tengah ketatnya likuiditas global. Upaya menciptakan sumber-sumber pandanaan baru melalui SBN dan SBSN ialah alternatif bijak dalam rangka mengurangi porsi asing. Akrobatik pemerintah memang dibutuhkan karena tidak hanya masalah global yang memberikan transmisi ekonomi ke Indonesia, tetapi juga persoalan dalam negeri, yakni politik dan maraknya bencana begitu menguras sumber daya Indonesia. Pertumbuhan ekonomi sampai kuartal II 2018 sebesar 5,27% yoy tampaknya masih cukup relevan jika melihat situasi ekonomi domestik dan global.
Yang terpenting bagi Jokowi bahwa harus segera disiapkan peralihan Pulau Jawa sebagai kontributor utama mesin pertumbuhan ekonomi 58,6% ke pulau-pulau luar Jawa. Integrasi logistik dengan tol laut masih belum tampak dengan jelas karena fokusnya perhatian pemerintah pada masalah infrastruktur di daratan dan mengabaikan sektor perairan serta kelautan.
Sebagai contoh biaya membuat jalan tol kini mencapai Rp148,82 miliar per kilometer dan akan terus naik tanpa bisa dikendalikan. Jika dibandingkan dengan harga kapal jenis kapal kontainer yang berharga US$2 juta, dana untuk setiap kilometer pembangunan jalan tol di darat dapat membeli 5 kapal laut jenis kontainer. Pada tahun ini saja pertambahan kapal baru untuk memenuhi laut di Indonesia dengan anggaran tol 2018 ialah 2.350 kapal.
Di tengah hampir seluruh sektor di negeri ini yang perlu perbaikan dan seluruhnya dituntut cepat, pemerintah harus memperhatikan keseimbangan pemerataan pembangunan infrastruktur. Infrastruktur tidak hanya yang ada di atas daratan, tetapi juga di udara, di atas air, bahkan infrastruktur juga ada yang di sistem yang kasat mata.
Fokus infrastruktur juga tidak mengistimewakan Pulau Jawa karena pulau lain juga membutuhkan perhatian dan distribusi anggaran. Sangat menyedihkan jika daerah bencana di Palu dan Donggala kesulitan dicapai dengan akses darat dan atau udara karena lumpuhnya infrastruktur. Bahkan, mengakses dari laut pun harus melihat jadwal kapal karena keterbatasan jumlah kapal.
Artinya, sisi konektivitas logistik di Indonesia masih membutuhkan banyak sekali perhatian dan pendanaan. Distribusi berkeadilan terutama harus sering-sering dikaji oleh pemerintah agar tahun politik 2019 tetap menjanjikan keoptimisan pertumbuhan ekonomi. Jika ini dapat dijaga Pemerintah Jokowi, pemerintah tetap berhak menyandang predikat driver ekonomi.