masukkan script iklan disini
POTRET PERTANIAN - Permasalahan dibidang pertanian di Indonesia memang sangat komplek, Mulai dari tingginya biaya produksi yang kadang tidak seimbang dengan harga jual hasil produksi pertanian, Hal inilah yang ahirnya menyumbang kurangnya minat petani untuk berbudidaya dan memilih alih profesi, terjadinya arus urbanisasi contohnya, masarakat desa yang seharusnya berladang harus ikut megadu nasib dikota yang dianggap lebih menguntungkan dari berbudidaya.
Hal tersebut tentu menjadi PR bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan bagi petani, dengan demikian pengentasan kemiskinan akan tersistem natural, bukankah masarakat butuh kesejahteraan, jika masarakat atau pelaku pertanian sejahtera dengan adanya jaminan harga produksi yang menguntungkan pastinya masarakat atau petani yang tadinya ikut mengadu nasib kekota akan kembali kedesa untuk bercocok tanam sehingga terciptalah usaha keras pemerintah meningkatkan ketahanan pangan.
Dengan demikian pemerintah harus terus berupaya untuk bagaimana masarakat gemar bertani karena ada jaminan harga yang stabil dan menguntungkan bagi para petani, seperti kebijakan atau langkah yang dambil oleh pemerintah dalam menyetabilkan hasil produksi pertanian dengan menyatakan perang dengan Mafia pangan.
Mafia pangan menjadi sosok menakutkan bagi dunia pertanian Indonesia. Lonjakan harga pangan yang tak kunjung padam disinyalir tak lepas dari ‘permainan’ mafia pangan. Karena itu pemerintah kini menabuh genderang perang dengan pelaku-pelaku yang kerap mengambil keuntungan di atas penderitaan masyarakat.
Dilansir dari Majalah Sinar Tani, Berkali-kali dan berbagai kesempatan, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman melontarkan perang terhadap mafia pangan. Kegusaran Amran tersebut tak lepas karena melihat kondisi perdagangan pangan di Indonesia yang ‘tak adil’.
Di satu sisi, petani sebagai produsen pangan menerima harga yang sangat rendah, dengan kata lain tak sesuai keringat yang mengucur. Tapi di sisi lain konsumen harus merogoh kocek lebih banyak untuk membeli produk yang dihasilkan petani.
Siapa yang mengambil keuntungan dari tingginya gap harga antara di petani dan konsumen? Jawabnya tak lain adalah para pedagang. Mata rantai pemasaran atau distribusi pangan dari petani ke konsumen yang sangat panjang, hingga 8-9 kali tahapan, membuat terjadi lonjakan harga.
Kondisi tersebut diperparah dengan adanya pelaku usaha ‘nakal’ yang mengambil keuntungan saat produksi pangan sedang turun. Memang harus diakui, kontinuitas supply pangan di dalam negeri masih naik-turun. Saat pasokan minim, harga bagaikan roket naik tinggi. Tapi anehnya, petani kadang tidak menikmati kenaikan harga tersebut.
Sebaliknya saat pasokan melimpah, harga di tingkat petani anjlok bak terjun bebas. Lagi-lagi anehnya, di produsen harga tetap anteng tinggi. Jika turun tak sebanding dengan turunnya harga di tingkat petani.
Situasi perdagangan seperti itulah yang ingin pemerintah bereskan. Selain memangkas mata rantai pangan yang terlalu panjang, pemerintah juga berupaya membersihkan perdagangan pangan dari pelaku usaha yang disinyalir merupakan bagian dari kartel yang dimainkan mafia pangan.
Langkah Konkrit
Tata niaga pangan memang menjadi persoalan tersendiri di republik ini. Gonjang-ganjing harga produk pangan yang kerap terjadi, terutama menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional bukan hanya meresahkan produsen dan konsumen, tapi bagi pemerintah pun menjadi masalah serius. Apalagi kenaikan harga kerap membuat stabilitas ekonomi menjadi terganggu, karena menyebabkan inflasi.
Karena itu untuk menjaga stabilitas pangan, pemerintah terus bergerak, baik menerbitkan kebijakan seperti Harga Eceran Tertinggi (HET) maupun Harga Acuan untuk petani, maupun aksi langsung di lapangan. Kementerian Pertanian juga sejak dua tahun terakhir mengembangkan Toko Tani Indonesia (TTI) untuk menjaga stabilisasi harga pangan di tingkat konsumen.
Satu harapan pemerintah dengan adanya TTI dapat memotong mata rantai pemasaran yang selama ini terlalu panjang. Jika sebelumnya mencapai delapan hingga sembilan tahapan, maka dengan TTI bisa terpangkas tinggal tiga tahap.
Sementara guna mengawasi ‘tingkah laku’ pelaku usaha dalam berbisnis, pemerintah pun membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pangan. Terbukti adanya Satgas Pangan telah membuat pelaku usaha mulai jera.
Bahkan saat peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dan Hari Krida Pertanian 2018 21 Juni, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman menetapkan sebagai momentum pemerintah untuk serius memberantas praktek kartel yang menjadi momok dalam sektor pangan Indonesia.
Di satu sisi, petani sebagai produsen pangan menerima harga yang sangat rendah, dengan kata lain tak sesuai keringat yang mengucur. Tapi di sisi lain konsumen harus merogoh kocek lebih banyak untuk membeli produk yang dihasilkan petani.
Siapa yang mengambil keuntungan dari tingginya gap harga antara di petani dan konsumen? Jawabnya tak lain adalah para pedagang. Mata rantai pemasaran atau distribusi pangan dari petani ke konsumen yang sangat panjang, hingga 8-9 kali tahapan, membuat terjadi lonjakan harga.
Kondisi tersebut diperparah dengan adanya pelaku usaha ‘nakal’ yang mengambil keuntungan saat produksi pangan sedang turun. Memang harus diakui, kontinuitas supply pangan di dalam negeri masih naik-turun. Saat pasokan minim, harga bagaikan roket naik tinggi. Tapi anehnya, petani kadang tidak menikmati kenaikan harga tersebut.
Sebaliknya saat pasokan melimpah, harga di tingkat petani anjlok bak terjun bebas. Lagi-lagi anehnya, di produsen harga tetap anteng tinggi. Jika turun tak sebanding dengan turunnya harga di tingkat petani.
Situasi perdagangan seperti itulah yang ingin pemerintah bereskan. Selain memangkas mata rantai pangan yang terlalu panjang, pemerintah juga berupaya membersihkan perdagangan pangan dari pelaku usaha yang disinyalir merupakan bagian dari kartel yang dimainkan mafia pangan.
Langkah Konkrit
Tata niaga pangan memang menjadi persoalan tersendiri di republik ini. Gonjang-ganjing harga produk pangan yang kerap terjadi, terutama menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional bukan hanya meresahkan produsen dan konsumen, tapi bagi pemerintah pun menjadi masalah serius. Apalagi kenaikan harga kerap membuat stabilitas ekonomi menjadi terganggu, karena menyebabkan inflasi.
Karena itu untuk menjaga stabilitas pangan, pemerintah terus bergerak, baik menerbitkan kebijakan seperti Harga Eceran Tertinggi (HET) maupun Harga Acuan untuk petani, maupun aksi langsung di lapangan. Kementerian Pertanian juga sejak dua tahun terakhir mengembangkan Toko Tani Indonesia (TTI) untuk menjaga stabilisasi harga pangan di tingkat konsumen.
Satu harapan pemerintah dengan adanya TTI dapat memotong mata rantai pemasaran yang selama ini terlalu panjang. Jika sebelumnya mencapai delapan hingga sembilan tahapan, maka dengan TTI bisa terpangkas tinggal tiga tahap.
Sementara guna mengawasi ‘tingkah laku’ pelaku usaha dalam berbisnis, pemerintah pun membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pangan. Terbukti adanya Satgas Pangan telah membuat pelaku usaha mulai jera.
Bahkan saat peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dan Hari Krida Pertanian 2018 21 Juni, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman menetapkan sebagai momentum pemerintah untuk serius memberantas praktek kartel yang menjadi momok dalam sektor pangan Indonesia.
Semoga Pertanian di Negeri Agraris ini akan terus maju dan berkembang sehigga tercipta kesejahteraan bagi pelakunya dan seluruh penduduk dinegeri ini, Jayalah Indonesia, Potret Pertanian. (PrasetyO)