masukkan script iklan disini
Poto Ilustrasi Perlunya Entrepreneur Muda Pertanian Yang Handal |
POTRET PERTANIAN - Petani, kalimat tersebut pastinya tidak asing bukan kita dengar, kalimat tersebut menjadi sebuah gambaran sebuah usaha yang identik dengan lumpur, keringat dan banting tulang untuk sebuah profesi petani ini.
Tak terelakan bagi generasi muda ahirnya akan merasa minder untuk menjadi seorang petani, yang sejatinya profesi ini adalah profesi yang mulia, bagaimana tidak tanpa ada petani mau makan apa kita kalau tidak dari prodak yang dihasilkan oleh seorang petani.
Tak jarang Bahkan banyak lulusan pertanian yang tidak ingin berprofesi sebagai petani karena konon tidak sejahtera sehingga lebih memilih bekerja di ibu kota dengan mendapat gaji berlipat-lipat.
Artinya jika hal ini dibiarkan begitu saja, bisa jadi krisis pangan dapat terjadi di masa depan mengingat kebutuhan pangan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, sementara produksi semakin berkurang karena banyaknya alih fungsi lahan serta kurangnya SDM yang terlibat di bidang pertanian.
Kondisi ini merupakan masalah serius, tetapi dapat juga kita ubah menjadi peluang bagi anak-anak muda yang ingin mencari pekerjaan di tengah terbatasnya lapangan kerja di perkotaan. Pertanian di Indonesia merupakan salah satu faktor penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) PDB terbesar bagi negara. Pada 2016 saja para petani kita mampu berkontribusi sebesar 13,45% untuk PDB nasional.
Profesi menjadi petani atau menjadi pengusaha di bidang pertanian (entrepreneur) tampak nya jarang beredar di benak generasi milenial saat ini.
Padahal, sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah, potensi pendapatan berlipat bagi pebisnis pertanian bakal membayangi. Data statistik menunjukkan, luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta kilometer persegi, yang sebagian besar cocok dan subur digarap sebagai lahan pertanian yang mencakup tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Tak heran, hingga kini negara kita menjadi produsen utama sejumlah komoditas pertanian di kancah global. Yang menjadi ironis, hingga Februari 2017, jumlah petani di Indonesia tinggal 36 juta orang, turun 1,2 juta sejak Februari 2014.
Hal ini tentu menyedihkan. Harapan besar lantas disematkan pada generasi anak muda masa kini yang mesti menjadi penerus tongkat estafet para kaum tua dalam mengembangkan sektor pertanian di Tanah Air. Nyatanya, profesi di bidang pertanian masih dianggap remeh dan kurang bergengsi bagi anak-anak zaman now .
Dilansir dari Sindonews.com, menurut Rido Syahputra, Ketua Badan Eksekutif Ma hasiswa (BEM) Fakultas Pertanian (Faperta) Institut Pertanian Bogor (IPB), gelombang hadirnya petani-petani muda makin meningkat sekitar dua hingga tiga tahun ke belakang. Hal ini, lanjut dia, merupakan angin segar bagi dunia pertanian di mana era teknologi amat berperan penting sehingga membutuhkan tenaga-tenaga ahli yang berkualitas dan cerdas.
“Para anak muda milenial sekarang sudah melihat potensi yang besar dari lahan-lahan yang ada di Indonesia. Apalagi perkembangan di bidang ini tidak akan habisnya,” ujar Rido saat ditemui KORAN SINDO, Jumat (29/6).
Rido mengatakan, bidang pertanian zaman sekarang disambut baik oleh kalangan muda dengan masuknya upaya modernisasi dan revolusi industri yang bisa menjadi solusi pangan di masa depan. Dia menekankan, pekerjaan di bidang pertanian sejatinya bukan hanya menjadi petani yang mencangkul di sawah. “Persepsi ini yang harus diubah bagi kaum muda, tidak sesempit itu. Masih banyak sektor lain yang bisa dilakukan, misalnya di bagian pengolahan, pascapanen, distribusi, dan sebagainya,” ungkap Rido.
Anak muda yang lekat dengan teknologi dan media sosial, diakui Rido, menjadi keuntungan tersendiri bagi yang ingin berkiprah menjadi wirausahawan pertanian. Dengan basis data dan teknologi, kerusakan serta kekurangan yang dialami saat menjalankan usaha pertanian dapat diminimalkan.
Misalnya, menurut dia, pengendalian hama terpadu dengan menggunakan perangkat canggih seperti yang sudah dilakukan negara-negara maju sehingga tidak merusak alam dengan menggunakan cairan kimia. Atau budi daya pemuliaan varietas tanaman baru serta program pemasaran yang lebih efektif dan menguntungkan.
Rido yakin, dengan bekal anak milenial yang cakap dalam bidang pertanian serta potensi lahan dan inovasi yang terus meningkat, pada 2045 Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. “Yang terpenting adalah konsistensi dari anak muda dalam mengembangkan pertanian serta produktivitas menciptakan berbagai peluang dalam bidang ini,” tandasnya.
Pemerintah, kata Rido, juga sudah memberikan perhatian yang lebih kepada pelaku pertanian terutama terkait kesejahteraan petani dan tumbuh banyaknya perusahaan berbasis teknologi pertanian. Untuk semakin menambah kecintaan generasi milenial terhadap pertanian, sejumlah kaum muda melakukan program menarik.
Salah satunya Achmad Syarief Nuhuyanan, seorang penggerak kewirausahaan mahasiswa. Dia dan teman-temannya dalam Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB mengadakan gerakan kewirausahaan sosial dengan mengadakan pelatihan bagi kader-kader petani muda.
Langkah ini dilakukan di sejumlah daerah pertanian, seperti di Sulawesi dan Jawa Barat, seperti menanam ubi cilembu dengan berbagai inovasi dan teknologi terbarunya. Hasil pertanian dari kegiatan ini, kata dia, akan dijual langsung ke distributor dengan harga terbaik sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat.
“Kader dan penjual yang mengikuti kegiatan ini juga kita beri hadiah, biar mereka semangat. Kita juga memotong rantai pemasok dan tengkulak yang seenaknya menaikkan harga bahan pangan,” tutur Syarief.
Lain lagi dengan Pri Menix Dey. Melalui komunitas iCow, dia mengembangkan konsep agroedutourism yang mengajak pemuda desa untuk mengintegrasikan potensi wisata di daerahnya dengan menggabungkan aspek pertanian, kehutanan, dan peternakan. Wisata pertanian, ujar dia, memang kini sedang tren dan banyak mendatangkan turis karena pengunjung tidak hanya berekreasi tetapi juga mendapatkan pengetahuan tentang dunia peternakan dan budi daya tanaman.
Lokasi yang kini tengah digarap adalah Pamijahan Village di Bogor, Jawa Barat. “Di sana potensinya besar sekali dan sekarang sudah mulai banyak dikunjungi warga. Jadi, kita bisa jalan-jalan berwisata alam melihat air terjun, main di peternakan sapi, tracking ke bukit dan lainnya,” kata Menix.
Dosen IPB, Doni Yusri mengemukakan, profesi bercocok tanam yang pengerjaannya memerlukan waktu lama memang kurang diminati generasi milenial yang maunya serbacepat dan instan. Padahal, tutur dia, menggarap lahan pertanian era kini bisa menggunakan sistem yang lebih inovatif, seperti hidroponik yang lebih mudah dan cepat panen. Maka dari itu, kaum muda tak perlu takut dan gengsi untuk berkiprah dan terjun menjadi pengusaha di bidang pertanian.
“Butuh kebanggaan tersendiri saat menjadi petani. Karena itu, memang perlu kampanye yang lebih intens kepada anak muda agar tertarik menjadi petani. Termasuk memunculkan tokoh muda pelaku usaha pertanian yang bukan hanya sukses, juga berpenampilan gaul dan trendi sebagai contoh bagi generasi milenial,” tandas Doni. (Rendra Hanggara)
Tak terelakan bagi generasi muda ahirnya akan merasa minder untuk menjadi seorang petani, yang sejatinya profesi ini adalah profesi yang mulia, bagaimana tidak tanpa ada petani mau makan apa kita kalau tidak dari prodak yang dihasilkan oleh seorang petani.
Tak jarang Bahkan banyak lulusan pertanian yang tidak ingin berprofesi sebagai petani karena konon tidak sejahtera sehingga lebih memilih bekerja di ibu kota dengan mendapat gaji berlipat-lipat.
Artinya jika hal ini dibiarkan begitu saja, bisa jadi krisis pangan dapat terjadi di masa depan mengingat kebutuhan pangan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, sementara produksi semakin berkurang karena banyaknya alih fungsi lahan serta kurangnya SDM yang terlibat di bidang pertanian.
Kondisi ini merupakan masalah serius, tetapi dapat juga kita ubah menjadi peluang bagi anak-anak muda yang ingin mencari pekerjaan di tengah terbatasnya lapangan kerja di perkotaan. Pertanian di Indonesia merupakan salah satu faktor penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) PDB terbesar bagi negara. Pada 2016 saja para petani kita mampu berkontribusi sebesar 13,45% untuk PDB nasional.
Profesi menjadi petani atau menjadi pengusaha di bidang pertanian (entrepreneur) tampak nya jarang beredar di benak generasi milenial saat ini.
Padahal, sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah, potensi pendapatan berlipat bagi pebisnis pertanian bakal membayangi. Data statistik menunjukkan, luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta kilometer persegi, yang sebagian besar cocok dan subur digarap sebagai lahan pertanian yang mencakup tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Tak heran, hingga kini negara kita menjadi produsen utama sejumlah komoditas pertanian di kancah global. Yang menjadi ironis, hingga Februari 2017, jumlah petani di Indonesia tinggal 36 juta orang, turun 1,2 juta sejak Februari 2014.
Hal ini tentu menyedihkan. Harapan besar lantas disematkan pada generasi anak muda masa kini yang mesti menjadi penerus tongkat estafet para kaum tua dalam mengembangkan sektor pertanian di Tanah Air. Nyatanya, profesi di bidang pertanian masih dianggap remeh dan kurang bergengsi bagi anak-anak zaman now .
Dilansir dari Sindonews.com, menurut Rido Syahputra, Ketua Badan Eksekutif Ma hasiswa (BEM) Fakultas Pertanian (Faperta) Institut Pertanian Bogor (IPB), gelombang hadirnya petani-petani muda makin meningkat sekitar dua hingga tiga tahun ke belakang. Hal ini, lanjut dia, merupakan angin segar bagi dunia pertanian di mana era teknologi amat berperan penting sehingga membutuhkan tenaga-tenaga ahli yang berkualitas dan cerdas.
“Para anak muda milenial sekarang sudah melihat potensi yang besar dari lahan-lahan yang ada di Indonesia. Apalagi perkembangan di bidang ini tidak akan habisnya,” ujar Rido saat ditemui KORAN SINDO, Jumat (29/6).
Rido mengatakan, bidang pertanian zaman sekarang disambut baik oleh kalangan muda dengan masuknya upaya modernisasi dan revolusi industri yang bisa menjadi solusi pangan di masa depan. Dia menekankan, pekerjaan di bidang pertanian sejatinya bukan hanya menjadi petani yang mencangkul di sawah. “Persepsi ini yang harus diubah bagi kaum muda, tidak sesempit itu. Masih banyak sektor lain yang bisa dilakukan, misalnya di bagian pengolahan, pascapanen, distribusi, dan sebagainya,” ungkap Rido.
Anak muda yang lekat dengan teknologi dan media sosial, diakui Rido, menjadi keuntungan tersendiri bagi yang ingin berkiprah menjadi wirausahawan pertanian. Dengan basis data dan teknologi, kerusakan serta kekurangan yang dialami saat menjalankan usaha pertanian dapat diminimalkan.
Misalnya, menurut dia, pengendalian hama terpadu dengan menggunakan perangkat canggih seperti yang sudah dilakukan negara-negara maju sehingga tidak merusak alam dengan menggunakan cairan kimia. Atau budi daya pemuliaan varietas tanaman baru serta program pemasaran yang lebih efektif dan menguntungkan.
Rido yakin, dengan bekal anak milenial yang cakap dalam bidang pertanian serta potensi lahan dan inovasi yang terus meningkat, pada 2045 Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. “Yang terpenting adalah konsistensi dari anak muda dalam mengembangkan pertanian serta produktivitas menciptakan berbagai peluang dalam bidang ini,” tandasnya.
Pemerintah, kata Rido, juga sudah memberikan perhatian yang lebih kepada pelaku pertanian terutama terkait kesejahteraan petani dan tumbuh banyaknya perusahaan berbasis teknologi pertanian. Untuk semakin menambah kecintaan generasi milenial terhadap pertanian, sejumlah kaum muda melakukan program menarik.
Salah satunya Achmad Syarief Nuhuyanan, seorang penggerak kewirausahaan mahasiswa. Dia dan teman-temannya dalam Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB mengadakan gerakan kewirausahaan sosial dengan mengadakan pelatihan bagi kader-kader petani muda.
Langkah ini dilakukan di sejumlah daerah pertanian, seperti di Sulawesi dan Jawa Barat, seperti menanam ubi cilembu dengan berbagai inovasi dan teknologi terbarunya. Hasil pertanian dari kegiatan ini, kata dia, akan dijual langsung ke distributor dengan harga terbaik sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat.
“Kader dan penjual yang mengikuti kegiatan ini juga kita beri hadiah, biar mereka semangat. Kita juga memotong rantai pemasok dan tengkulak yang seenaknya menaikkan harga bahan pangan,” tutur Syarief.
Lain lagi dengan Pri Menix Dey. Melalui komunitas iCow, dia mengembangkan konsep agroedutourism yang mengajak pemuda desa untuk mengintegrasikan potensi wisata di daerahnya dengan menggabungkan aspek pertanian, kehutanan, dan peternakan. Wisata pertanian, ujar dia, memang kini sedang tren dan banyak mendatangkan turis karena pengunjung tidak hanya berekreasi tetapi juga mendapatkan pengetahuan tentang dunia peternakan dan budi daya tanaman.
Lokasi yang kini tengah digarap adalah Pamijahan Village di Bogor, Jawa Barat. “Di sana potensinya besar sekali dan sekarang sudah mulai banyak dikunjungi warga. Jadi, kita bisa jalan-jalan berwisata alam melihat air terjun, main di peternakan sapi, tracking ke bukit dan lainnya,” kata Menix.
Dosen IPB, Doni Yusri mengemukakan, profesi bercocok tanam yang pengerjaannya memerlukan waktu lama memang kurang diminati generasi milenial yang maunya serbacepat dan instan. Padahal, tutur dia, menggarap lahan pertanian era kini bisa menggunakan sistem yang lebih inovatif, seperti hidroponik yang lebih mudah dan cepat panen. Maka dari itu, kaum muda tak perlu takut dan gengsi untuk berkiprah dan terjun menjadi pengusaha di bidang pertanian.
“Butuh kebanggaan tersendiri saat menjadi petani. Karena itu, memang perlu kampanye yang lebih intens kepada anak muda agar tertarik menjadi petani. Termasuk memunculkan tokoh muda pelaku usaha pertanian yang bukan hanya sukses, juga berpenampilan gaul dan trendi sebagai contoh bagi generasi milenial,” tandas Doni. (Rendra Hanggara)