masukkan script iklan disini
Teknologi Pengendalian Hama dan
Penyakit pada Kelapa Sawit:
Siap Pakai dan Ramah Lingkungan
Pengendalian hama dan penyakit pada perkebunan kelapa sawit telah dapat menggunakan teknologi
pengendalian yang ramah lingkungan.Teknologi tersebut antara lain adalah pengendalian dengan menggunakan
mikroorganisme entomopatogenik, feromon, dan biofungisida.
Berikut disajikan deskripsi teknis, ekonomi, dan penerapannya di perkebunan kelapa sawit.
pengendalian ulat api, kumbang tanduk, dan penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit biasanya dilakukan dengan menggunakan pestisida kimia sintetis. Namun, kini telah tersedia teknologi pengendalian secara hayati yang ternyata cukup efektif, aman, dan murah. Pengendalian Hayati Ulat Api dengan Mikroorganisme Entomopatogenik
Pengendalian ulat api (Setothosea asigna) dengan menggunakan insektisida kimiawi merupakan cara
yang umum dilakukan di perkebunan kelapa sawit. Namun dalam praktek, penggunaan insektisida tersebut justru menimbulkan kerugian yang besar berupa pencemaran lingkungan akibat residu insektisida serta munculnya resistensi dan resurgensi hama. Semakin meningkatnya kesadaran akan pelestarian lingkungan, termasuk
perlindungan terhadap musuh alami hama di dalam ekosistem kelapa sawit, telah mendorong para pengusaha
perkebunan untuk menerapkan pengendalian hayati.Secara teknis, pengendalian hayati lebih unggul dibandingkan pengendalian secara kimiawi, karena selain efektif dan efisien juga ramah lingkungan. Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat menggunakan mikroorganisme entomopatogenik, yaitu
virus â Nudaurelia, multiple nucleopolyhedrovirus (MNPV), dan jamur Cordyceps aff. militaris. Virus â
Nudaurelia dan MNPV efektif untuk mengendalikan hama pada stadium ulat, sedangkan jamur Cordycepsaff.militaris efektif untuk kepompong.Mikroorganisme entomopatogenik dapat mengurangi atau bahkan menggantikan insektisida kimia sintetis golongan piretroid, seperti Decis 2,5 DC dan Matador 25 EC
dalam pengendalian ulat api di perkebunan kelapa sawit. Biaya pengendalian hayati juga lebih murah,yaitu hanya 7% dari biaya pengendalian secara kimiawi. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut,penggunaan insektisida alami menjadi pilihan bagi para pengusaha kelapa sawit. Insektisida hayati mikroorganisme entomopatogenik kini telah banyak digunakan dalam mengendalikan ulat api, baik di perkebunan negara, swasta maupun rakyat.
Feromon untuk Pengendalian
Kumbang Tanduk
Hama kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) umumnya menyerang tanaman kelapa sawit muda. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS)pada tahun pertama hingga 69%
dan menimbulkan kematian pada tanaman muda hingga 25%.
Pengendalian kumbang tanduk secara konvensional dilakukan dengan cara pengutipan dan menggunakan
insektisida kimiawi. Namun, cara tersebut dinilai tidak efektif dan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan.
Feromon dapat digunakan sebagai insektisida alami untuk mengendalikan kumbang tanduk dengan efektif, ramah lingkungan, dan lebih murah dibandingkan dengan pengendalian secara konvensional.
Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada pa-
Ulat api Setothosea asigna yang terinfeksi multiple nucleo-polyhedrovirus (MNPV).Kumbang penggerek pucuk Oryctes rhinoceros (atas) dan aplikasi feromon di perkebunan kelapa sawit (bawah).
Tanaman kelapa sawit yang terserang busuk pangkal yang disebabkan Ganoderma boninense (kiri), tanaman kelapa sawit yang telah diaplikasi dengan biofungisida Marfu-P selama 6 bulan (tengah), dan Biofungisida Marfu-P produksi PPKS (kanan).
sangan seksualnya, sekaligus mangsa,tanaman inang, dan tempat berkembang biaknya. Komponen utama
feromon sintetis ini adalah etil-4 metil oktanoat. Feromon tersebut dikemas dalam kantong plastik(sachet).
Penggunaan feromon cukup murah karena biayanya hanya 20% dari biaya penggunaan insektisida dan pengutipan kumbang secara manual. Selain harganya murah (Rp75.000/sachet), cara aplikasinya di lapangan tidak banyak membutuhkan tenaga kerja.
Penggunaan feromon di perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu alternatif yang sangat baik
untuk mengendalikan kumbang tanduk.
Feromon produksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit ini telah banyak digunakan oleh perusahaan perkebunan
negara, swasta, dan rakyat.
Biofungisida Marfu-P Pengendali
Jamur Ganoderma boninense
Penyakit busuk pangkal batang(BPB) pada tanaman kelapa sawit disebabkan oleh jamur Ganoderma
boninense Pat., suatu jamur tanah hutan hujan tropik. Jamur G. Boninense bersifat saprofitik (dapat
hidup pada sisa tanaman) dan akan berubah menjadi patogenik bila bertemu dengan akar tanaman kelapa
sawit yang tumbuh di dekatnya.
BPB dapat menyerang tanaman mulai dari bibit hingga tanaman tua,tetapi gejala penyakit biasanya
baru terlihat setelah bibit ditanam di kebun.
Busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit dapat dikendalikan dengan menggunakan biofungisida
Marfu-P. Hasil uji aplikasi
Marfu-P menunjukkan bahwa 1 bulan setelah perlakuan masih dijumpai adanya Ganoderma dan Trichoderma pada potongan akar.Ganoderma pada akar kelapa sawit sudah melapuk setelah 3 bulan perlakuanTrichoderma.
Bahan aktif biofungisida Marfu-P adalah sporakonidia dan klamidospora jamur Trichoderma koningii
(isolat MR 14). Harga biofungisida Marfu-P hanya Rp4.000/kg.Perkembangan BPB perlu dipantau
setiap 6 bulan hingga tanaman berumur 5 tahun. Apabila dijumpai gejala BPB, maka tindakan pengobatan harus segera dilaksanakan.Jika pengobatan tidak memungkinkan,perlu dilakukan eradikasi.
Selain efektif dan efisien mengendalikan BPB pada kelapa sawit,pengendalian dengan biofungisida juga bersifat ramah lingkungan.Biofungisida Marfu-P banyak digunakan oleh perusahaan perkebunan
kelapa sawit milik negara
dan swasta.
Penyakit pada Kelapa Sawit:
Siap Pakai dan Ramah Lingkungan
Pengendalian hama dan penyakit pada perkebunan kelapa sawit telah dapat menggunakan teknologi
pengendalian yang ramah lingkungan.Teknologi tersebut antara lain adalah pengendalian dengan menggunakan
mikroorganisme entomopatogenik, feromon, dan biofungisida.
Berikut disajikan deskripsi teknis, ekonomi, dan penerapannya di perkebunan kelapa sawit.
pengendalian ulat api, kumbang tanduk, dan penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit biasanya dilakukan dengan menggunakan pestisida kimia sintetis. Namun, kini telah tersedia teknologi pengendalian secara hayati yang ternyata cukup efektif, aman, dan murah. Pengendalian Hayati Ulat Api dengan Mikroorganisme Entomopatogenik
Pengendalian ulat api (Setothosea asigna) dengan menggunakan insektisida kimiawi merupakan cara
yang umum dilakukan di perkebunan kelapa sawit. Namun dalam praktek, penggunaan insektisida tersebut justru menimbulkan kerugian yang besar berupa pencemaran lingkungan akibat residu insektisida serta munculnya resistensi dan resurgensi hama. Semakin meningkatnya kesadaran akan pelestarian lingkungan, termasuk
perlindungan terhadap musuh alami hama di dalam ekosistem kelapa sawit, telah mendorong para pengusaha
perkebunan untuk menerapkan pengendalian hayati.Secara teknis, pengendalian hayati lebih unggul dibandingkan pengendalian secara kimiawi, karena selain efektif dan efisien juga ramah lingkungan. Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat menggunakan mikroorganisme entomopatogenik, yaitu
virus â Nudaurelia, multiple nucleopolyhedrovirus (MNPV), dan jamur Cordyceps aff. militaris. Virus â
Nudaurelia dan MNPV efektif untuk mengendalikan hama pada stadium ulat, sedangkan jamur Cordycepsaff.militaris efektif untuk kepompong.Mikroorganisme entomopatogenik dapat mengurangi atau bahkan menggantikan insektisida kimia sintetis golongan piretroid, seperti Decis 2,5 DC dan Matador 25 EC
dalam pengendalian ulat api di perkebunan kelapa sawit. Biaya pengendalian hayati juga lebih murah,yaitu hanya 7% dari biaya pengendalian secara kimiawi. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut,penggunaan insektisida alami menjadi pilihan bagi para pengusaha kelapa sawit. Insektisida hayati mikroorganisme entomopatogenik kini telah banyak digunakan dalam mengendalikan ulat api, baik di perkebunan negara, swasta maupun rakyat.
Feromon untuk Pengendalian
Kumbang Tanduk
Hama kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) umumnya menyerang tanaman kelapa sawit muda. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS)pada tahun pertama hingga 69%
dan menimbulkan kematian pada tanaman muda hingga 25%.
Pengendalian kumbang tanduk secara konvensional dilakukan dengan cara pengutipan dan menggunakan
insektisida kimiawi. Namun, cara tersebut dinilai tidak efektif dan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan.
Feromon dapat digunakan sebagai insektisida alami untuk mengendalikan kumbang tanduk dengan efektif, ramah lingkungan, dan lebih murah dibandingkan dengan pengendalian secara konvensional.
Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada pa-
Ulat api Setothosea asigna yang terinfeksi multiple nucleo-polyhedrovirus (MNPV).Kumbang penggerek pucuk Oryctes rhinoceros (atas) dan aplikasi feromon di perkebunan kelapa sawit (bawah).
Tanaman kelapa sawit yang terserang busuk pangkal yang disebabkan Ganoderma boninense (kiri), tanaman kelapa sawit yang telah diaplikasi dengan biofungisida Marfu-P selama 6 bulan (tengah), dan Biofungisida Marfu-P produksi PPKS (kanan).
sangan seksualnya, sekaligus mangsa,tanaman inang, dan tempat berkembang biaknya. Komponen utama
feromon sintetis ini adalah etil-4 metil oktanoat. Feromon tersebut dikemas dalam kantong plastik(sachet).
Penggunaan feromon cukup murah karena biayanya hanya 20% dari biaya penggunaan insektisida dan pengutipan kumbang secara manual. Selain harganya murah (Rp75.000/sachet), cara aplikasinya di lapangan tidak banyak membutuhkan tenaga kerja.
Penggunaan feromon di perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu alternatif yang sangat baik
untuk mengendalikan kumbang tanduk.
Feromon produksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit ini telah banyak digunakan oleh perusahaan perkebunan
negara, swasta, dan rakyat.
Biofungisida Marfu-P Pengendali
Jamur Ganoderma boninense
Penyakit busuk pangkal batang(BPB) pada tanaman kelapa sawit disebabkan oleh jamur Ganoderma
boninense Pat., suatu jamur tanah hutan hujan tropik. Jamur G. Boninense bersifat saprofitik (dapat
hidup pada sisa tanaman) dan akan berubah menjadi patogenik bila bertemu dengan akar tanaman kelapa
sawit yang tumbuh di dekatnya.
BPB dapat menyerang tanaman mulai dari bibit hingga tanaman tua,tetapi gejala penyakit biasanya
baru terlihat setelah bibit ditanam di kebun.
Busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit dapat dikendalikan dengan menggunakan biofungisida
Marfu-P. Hasil uji aplikasi
Marfu-P menunjukkan bahwa 1 bulan setelah perlakuan masih dijumpai adanya Ganoderma dan Trichoderma pada potongan akar.Ganoderma pada akar kelapa sawit sudah melapuk setelah 3 bulan perlakuanTrichoderma.
Bahan aktif biofungisida Marfu-P adalah sporakonidia dan klamidospora jamur Trichoderma koningii
(isolat MR 14). Harga biofungisida Marfu-P hanya Rp4.000/kg.Perkembangan BPB perlu dipantau
setiap 6 bulan hingga tanaman berumur 5 tahun. Apabila dijumpai gejala BPB, maka tindakan pengobatan harus segera dilaksanakan.Jika pengobatan tidak memungkinkan,perlu dilakukan eradikasi.
Selain efektif dan efisien mengendalikan BPB pada kelapa sawit,pengendalian dengan biofungisida juga bersifat ramah lingkungan.Biofungisida Marfu-P banyak digunakan oleh perusahaan perkebunan
kelapa sawit milik negara
dan swasta.