-->
  • Jelajahi

    Copyright © POTRET PERTANIAN
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    skrip

    Prasetyo Budi
    Minggu, September 13, 2009, Minggu, September 13, 2009 WIB Last Updated 2016-08-05T04:07:47Z


    masukkan script iklan disini
    Latar Belakang

    Jamur entomopatogen merupakan bahan alternatif pengendali serangga hama yang efektif dan efesien, sehingga potensinya perlu terus digali dan dikembangkan. Penggalian potensi jamur entomopatogen yang mampu menginfeksi serangga hama, yang merupakan hama bagi banyak jenis tanaman pertanian perlu dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan isolasi, identifikasi dan uji patogenisitas jamur entomopatogen.
    Pemanfaatan agens hayati dalam mengendalikan beberapa serangga hama, terutama rayap dianggap merupakan salah satu cara pengendalian yang dinilai aman, efektif dan efisien. Karena pemanfaatan agens hayati merupakan salah satu konsep Pengelolaan Hama dan Penyakit Terpadu yang dianjurkan oleh pemerintah.
    Agens hayati adalah kelompok musuh alami yang dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mengendalikan OPT. Pada dasarnya agens hayati di bagi ke dalam 4 kelompok besar yaitu predator, parasitoid, patogen serangga (entomopatogen), dan antagonis patogen tumbuhan. Agens hayati ini mempunyai keunggulan diantaranya mempunyai selektivitas tinggi, tersedia di alam dan mampu berkembang serta menyebar sendiri atau dengan bantuan perantara.

    Meskipun UU No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman, mengamanatkan pelaksanaan perlindungan tanaman dengan sistem PHT, tetapi kegiatan dasar laboratorium sangat penting terutama mendukung pengembangan subsistem pengamatan. Sebagaimana dimaklumi bahwa sistem perlindungan tanaman diletakan atas dasar pengembangan sub-sub sistem pengamatan, pengembangan teknologi pengendalian, penyediaan sarana pengendalian, dan penyuluhan perlindungan yang mengarah kepada pembelajaran petani menerapkan PHT. Oleh karena itu, dalam pengembangan subsistem pengamatan di tingkat wilayah diperlukan revitalisasi, pencerahan, dan kembali ke khittah kegiatan dasar laboratorium (surveillance, koleksi dan identifikasi OPT) yang baik dan sesuai standar, di samping penanganan OPT yang eksplosif (www.ditlin.hortikultura.go.id).
    Rayap termasuk ke dalam serangga yang hidup berkelompok dan dalam perikehidupannya sangat bergantung pada individu dalam kelompoknya. Tipe hidup yang demikian memasukkan rayap kedalam makhluk sosial atau serangga sosial (social insect) seperti semut, lebah dan tawon. Manusia sebagai makhluk sosial diperkirakan terjadi 1 juta tahun yang lalu. Beberapa jenis serangga seperti semut, tawon dan lebah telah ada 70 juta tahun yang lalu. Sementara itu berdasarkan fossil yang ditemukan menunjukkan bahwa rayap telah ada sejak 200 juta tahun yang lalu ( Krishna, (1970 ) dalam Bakti, 2005).
    Serangan rayap pertama kali terjadi pada tahun 1990 di pertanaman kelapa sawit di kebun Torgamba, ketika itu ditengarai penyebabnya adalah karena pembukaan areal dengan sistem bakar ringan (Light Burning) yang meninggalkan kayu yang tidak habis terbakar. Sisa bakaran dan tunggul kayu tersebut merupakan bahan pakan dan sarang yang cocok untuk rayap. Pada tahun 1994 dari survey beberapa peneliti dari Fakultas Pertanian USU menemukan serangan rayap di salah satu kebun kelapa sawit di Kabupaten Labuhan Batu dengan tingkat serangan ± 3 persen dari seluruh populasi tanaman pada areal seluas ± 8000 ha. Demikian pula beberapa kebun lain seperti di Kabupaten Tapanuli Tengah. Selain kelapa sawit, tanaman kelapa hibrida di Pulau Burung, Riau juga diserang rayap dengan tingkat serangan 2 – 3 persen ( Bakti, 2002).
    Rayap tanah adalah rayap pembangun sarang terhebat. Menurut Horwood dan Eldridge (2005) sarang rayap tanah dapat ditemukan di atas permukaan tanah, pada tempat yang tinggi di batang – batang pohon, di dalam kayu bahkan di dalam bangunan gedung atau di tempat – tempat lain dimana sumber kelembapan selalu tersedia. Sarang rayap tanah Genus Macrotermes dan Odontotermes berkembang keatas maupun kebawah permukaan tanah membentuk sarang bukit. ( Anonimus, 2006 ).
    Pengendalian beberapa serangga hama secara terpadu dengan memanfaatkan penggunaan Metarhizium anisopliae untuk mengendalian larvanya dan aplikasi feromon sintetik untuk mengendalikan serangga tersebut sehingga populasi terkendali.
    Metarhizium anisopliae telah diformulasikan dalam berbagai bentuk meliputi: jagung, granul dan tepung maupun kombinasinya. Formulasi ini diciptakan untuk mempermudah aplikasi pada tandan kosong kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit atau pada tanaman budidaya lainnya. Penelitian yang dilakukan di berbagai perkebunan kelapa sawit meliputi: Kebun Bangun Bandar PT Socfindo, Kebun Sei Mangkei PTPN IV, Kebun Teluk Dalam PT. Padasa Enam Utama dan Kebun Sei Rokan PTPN V dan kebun – kebun lainnya. Hasil penelitian di laboratorium pada berbagai formulasi menunjukkan bahwa masing-masing formulasi dapat menyebabkan mumifikasi larva 100% dengan formulasi jagung menjadi formulasi yang paling cepat menyebabkan kematian larva O. rhinoceros dalam waktu 2-4 minggu setelah aplikasi.  Sedangkan  aplikasi di lapangan, formulasi tepung merupakan formulasi terbaik pada tingkat mortalitas larva 44% selama 6 minggu setelah aplikasi (sta) pada lahan tanaman kelapa sawit (www.iopri.org/index.com).
    Jamur entomopatogen lainnya yang sering dimanfaatkan sebagai agens hayati adalah Trichoderma. Trichoderma termasuk kelas deutromycetes dan ordo maniliales dan telah dikenal pada tahun, 1974 terdiri dari empat spesies. Kemudian para peneliti telah menemukan kembali beberapa species lainnya. Tahun 1969 rifai mengadakan revisi terhadap spesies yang ada dan menggolongkan Trichoderma ke dalam 9 spesies. Diantara spesies tersebut ada 5 spesies yang paling banyak digunakan sebagai agen pengendalian hayati dalam pengendalian penyakit tanaman, yaitu : T. hamatum, T. harzianum, T. koningii, T. viridae, T. pseudokoningii (papavizas (1985) dalam basuki dan situmorang, 1993).
    Jamur entomopatogen Beauveria bassiana yang sering digunakan dalam mengendalikan serangga hama, juga dinilai efektif dalam pengendalian rayap. Dalam hal ini Beauveria bassiana di kombinasikan dengan jamur – jamur entomopatogen lainnya.
    Menurut Mustafa (2005) dalam salah satu karya ilmiahnya di salah satu harian mengatakan, keberadaan cendawan Beauveria bassiana secara alami banyak tumbuh di area perkebunan kopi. Namun, karena penggunaan pestisida yang sembarangan dan berlebihan, menyebabkan jamur yang berbentuk bintik-bintik putih ini musnah. “Sebelum menggunakan jamur beauveria ini sebagai pembasmi berbagai jenis serangga hama, jamur harus diperbanyak dengan menggunakan jagung giling,
    Caranya tidak terlalu rumit. Jagung giling sebanyak 2 kg harus dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran. Bisa dengan diayak atau direndam dalam air. Setelah itu, jagung dikukus hingga setengah matang. Kemudian ditiriskan dan didiamkan hingga dingin.
    Selanjutnya jagung ditempatkan di dalam kantung plastik. Jagung dikukus kembali hingga 1 jam. “Kemudian spora jamur Beauveria yang diambil dari kebun dicampurkan dengan jagung yang berada di dalam plastik. Untuk menghindari pencemaran dari zat-zat lain, proses pencampuran dilakukan di dalam kotak steril atau inokulasi,” jelasnya. Jagung yang sudah tercampur dengan spora jamur Beauveria, diletakkan di tempat yang sejuk. Kemudian didiamkan selama dua minggu dan setelah jamur berubah warna menjadi putih, jamur dapat digunakan sebagai pembasmi hama PBK (Mustafa, 2005).

    Tujuan Penelitian
    Untuk mengetahui efektifitas beberapa jenis jamur entomopatogen pada pengendalian hayati rayap dan media aplikasi yang sesuai untuk pertumbuhan jamur entomopatogen.

    Hipotesa penelitian
    Jamur entomopatogen efektif sebagai agens pengendalian hayati terhadap rayap.
    Media aplikasi mempengaruhi efektifitas entomopatogen sebagai agensia hayati.

    Kegunaan Penelitian
    Untuk dapat menerapkan pengendalian hayati sebagai salah satu komponen dalam PHT.
    Untuk mendapatkan media aplikasi yang cocok untuk jamur entomopatogen.
    Perilaku dan perkembangan rayap perlu di ketahui sebagai salah satu pertimbangan untuk pengendaliannya.
    Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi tingkat Strata – 1 (S 1) pada Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.


















    BAB II
    TINJAUAN PUSTAKA
    Biologi Rayap

    Menurut cit. Weesner (1969) telah memperkenalkan beberapa istilah yang khusus digunakan untuk rayap. Istilah ini sedikit agak berbeda dengan pengertian umum yang berlaku pada serangga, tetapi umum digunakan oleh para ahli rayap.
    Nimfa nirsayap (apterous nymph) adalah individu belum sempurna (belum bersayap) Fase ini juga terdiri atas beberapa instar, tergantung dari jenis rayap dan lingkungan sekitar.
    Nimfa bersayap (brachypterous nymph) adalah kelanjutan dari nirsayap yang sudah menunjukkan adanya bakal sayap.
    Pekerja (worker) rayap yang fungsinya adalah pelayan yang menyediakan makanan dan membangun sarang untuk koloni. Khusus untuk tingkat rendah, kedudukan rayap pekerja dilakukan oleh rayap pekerja semu.
    Pekerja palsu (Flse worker) fase ini adalah kelanjutan dari fase nirsayap yang mengalami pertukaran kulit. Kelompok ini bukanlah bentuk permanen sebagai pekerja, karena pada fase ini kemungkinan individu dapat berubah menjadi kasta prajurit dan pembiak (alate).
    Prajurit (soldier) adalah kelompok individu yang berfungsi untuk menjaga keamanan sarang dari gangguan luar, yang ditandai dengan bentuk mandibel yang lebih besar dan kuat seperti pada Zootermopsis dan terkadang kepala besar serta kuat karena mengalami pengerasan.
    Calon prajurit ( Pseudosoldier, white soldier) adalah perkembangan antara (intermediate) antara nimfa nirsayap dan pseudergate. Pseudergate tidak bersifat permanent dengan fungsi tidak selamanya sebagai menjaga pertahanan dalam koloni.
    Pembiak pratama atau imago pratama (first form reproduktif) adalah induk pertama yang berfungsi sebagai pendiri koloni yang berasal dari rayap bersayap atau alate.
    Pembiak pengganti (supplement reproductive) yang fungsinya adalah menggantikan pembiak pratama untuk membangun koloni bila dalam kondisi tertentu pratama tidak berfungsi atau musnah.
    Rayap tingkat rendah memiliki beberapa perkembangan yang berbeda, khususnya dalam membentuk koloni dibandingkan dengan rayap tingkat tinggi (Bakti, 2005).

    Biologi Jamur Entomopatogen
    a. Trichoderma sp

    Menurut Gilman (1971), jamur ini diklasifikasikan sebagai berikut :
    Kingdom : Mycetaceae
    Divisio : Amestygomycota
    Klass : Deutromycetes
    Ordo : Moniliales
    Family : Moniliaceae
    Genus : Trichoderma
    Spesies : Trichoderma koningii
    Trichoderma viridae
    Trichoderma harzianum
    Trichoderma mempunyai hifa steril yang menjalar, bersepta dan bentuknya mendatar. Konidiophor tegak lurus, muncul dari yang rendah, dari cabangnya akan keluar cabang yang lain. Koloni dari fungi Trichoderma pada media agar dapat berkembang, mula-mula berwarna putih, kemudian menjadi seperti cahaya lampu hijau dalam 4-5 hari. Hyfa vegetatif bersepta dan hialin. Konidiopor seperti cabang-cabang dari mycelium udara, berseling atau bersebrangan, dengan ukuran > 25µm dalam tinggi x 3 µm dalam diameternya. Sedangkan kepala konidianya > 10 µm diameternya, konidianya berbentuk elips dengan ukuran 3,2-4,8 µm dalam panjang x 1,83 µm dalam lebar,licin dan hyalin (Gilman, 1971). Hal ini juga dipejelas oleh (Rifai, 1969; dalam Basuki, 1986) yang melakukan pengamatan terhadap koloni Trichoderma pada agar dektrose kentang menunjukkan bahwa jamur tumbuh sangat cepat dalam temperatur kamar, mula-mula permukaan koloni halus, tetapi kemudian agak berbulu oleh adanya hifa udara, terutama pada tepi cawan petri. Koloni mula-mula berwarna putih jernih, kemudian berubah menjadi putih dan akhirnya hijau tua. Media tetap tidak mengalami perubahan warna.
    Tricoderma merupakan jamur yang saprofitik yang hidup di dalam tanah, serasah dan kayu mati. Jamur ini hidup di berbagai tempat, mudah ditemukan, berkembang dengan cepat dan diantaranya mampu membunuh jamur lain (Rifai, 1969) dalam basuki dan situmorang, 1993).
    Trichoderma, bersifat cosmopolitan, yang dapat dijumpai pada tanaman bunga-bungaan, teradapat juga pada tanaman bawang, bawang putih dan pada tanaman jeruk tetapi sebagai saprofit. Fungi ini mempunyai antibiotik atau pengaruh antagonis terhadap Rhyzoctonia, Phytium, dan fungi-fungi lain penyebab damping-off dan berguna sekali didalam melemahkan pathogen busuk akar Armillaria dan busuk mahkota oleh Sclerotium rolfsii (Westcatt, 1976).
    Mekanisme patogenesitas Trichoderma terhadap jamur lain yang merupakan mekanisme pengendalian hayati. Berlangsung dengan cara antibiotis, parasitisme, dan kompetisi. Trichoderma dapat menghasilkan antibiotic viridin, gliotoxin, paracelsin, alamethilin, atau trichotoxin yang dapat menghasilkan sel jamur, enzim B (1-3) glucanase dan chitinase yang dapat mengakibatkan lisis dinding sel jamur lain. Trichoderma juga dapat memarasit miselium jamur lain dengan menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel untuk mengambil zat makanan dari dalamnya sehingga jamur menjadi mati, dalam proses kompetisi, trichoderma mempunyai kemampuan memperebutkan tempat dan sumber makanan dalam tanah atau disekitar perakaran tanaman (Rizosfer) (Basuki dan situmorang,1993).

    b. Beauveria bassiana

    Spora jamur Beauveria bassiana yang diambil dari kebun dicampurkan dengan bahan atau media tumbuh yang berada di dalam plastik. Untuk menghindari pencemaran dari zat-zat lain, proses pencampuran dilakukan di dalam kotak steril atau yang juga sering disebut oleh para ahli sebagai kotak inokulasi,
    Media tumbuh yang sudah tercampur dengan spora jamur Beauveria bassiana, diletakkan di tempat yang sejuk. Kemudian didiamkan selama dua minggu dan setelah jamur berubah warna menjadi putih, jamur dapat digunakan sebagai pembasmi beberapa hama. Jamur Beauveria bassiana sebanyak 2 kg tersebut dapat digunakan untuk pembasmi hama di lahan perkebunan seluas satu hektar atau lebih. Jamur B. bassiana  terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena, antara segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor). Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna putih.  Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara kapsul kepala (head capsule) dengan toraks atau diantara segmen-segmen apendages demikian pula miselium jamur keluar pertama kali pada bagian-bagian tersebut. Jamur  B. bassiana dapat bertahan di dalam tanah sebagai kompetitor  lemah dan terdistribusi secara heterogen sehingga  dapat diisolasi dari sampel tanah pada kedalaman 5 – 15 cm ( Hasyim, Azwana dan Mu’minin, 2003).

    c. Metarhizium anisopliae
    Hasil penelitian beberapa para ahli menunjukkan bahwa spesies jamur entomopatogenik Metarhizium anisopliae yang diuji sangat efektif terhadap rayap. Efektivitas M. anisopliae yang menunjukkan patogenisitas terhadap rayap hingga mencapai mortalitas ±80% (Rayati dan Widayat, 2006).
    Jamur Metarhizium anisopliae memiliki spektrum pengendalian yang luas karena dapat menginfeksi lebih dari 100 spesies serangga seperti, Scapteriscus sp, Semut api, Phillopaga sp dan juga rayap. Metarhizium anisopliae sebagai insektisida biologis telah berhasil mengendalikan beberapa jenis hama tanaman perkebunan. Penggunaannya dilakukan dengan cara menebarkan spora jamur ke daerah – daerah perkawinan serangga hama. Jamur yang ditebarkan selanjutnya akan menginfeksi larva atau nimfa dari hasil perkawinan tersebut. Cara ini ternyata dapat menghasilkan tingkat infeksi yang tinggi. Spora Metarhizium anisopliae dapat bertahan pada populasi serangga hama sekitar dua tahun (Wayono dan Tarigan, 2007).






    BAB III
    BAHAN DAN METODE

    Tempat dan Waktu Penelitian
    Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakutas Pertanian Universitas sumatera Utara. Dengan Ketinggian Tempat ± 24 m diatas permukaan laut. Penelitian ini di laksanakan pada bulan Maret 2008 sampai dengan selesai.
    Bahan dan Alat
    Bahan
    Kentang
    Kacang merah
    Beras
    Jamur Metharizium anisopliae
    Jamur Beuveria bassiana
    Jamur Trichoderma koningii
    Alat
    Stoples
    Gunting / pisau
    Kertas Label
    Kuas
    Kain kassa
    Isolatip
    Alat – alat tulis
    Metode Penelitian
    Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan model :
    Yij = µ + άi + ∑ ij
    Keterangan :
    Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke – i dan ulangan ke j.
    µ = Nilai tengah umum.
    άi = Pengaruh perlakuan ke – i
    ∑ij = Pengaruh galat / error dari perlakuan ke – I dan ulangan ke- j.
    Dengan faktor - faktor sebagai berikut :
    Faktor jenis Jamur Entomopatogen dengan kerapatan konidia 106/ml.
    J1 = Trichoderma koningii
    J2 = Beauveruia bassiana
    J3 = Metarhizium anisopliae
    Faktor Media
    M1 = Kentang
    M2 = Kacang Merah
    M3 = Beras
    Dengan kombinasi kedua faktor sebagai berikut :
    J1M1 J2M1 J3M1
    J1M2 J2M2 J3M2
    J1M3 J2M3 J3M3
    Kombinasi tersebut dilakukan dengan ulangan sebanyak 4 kali ulangan.
    Pelaksanaan Penelitian
    Penyediaan jamur entomopatogen yang akan digunakan dalam penelitian adalah 3 macam, yaitu : jamur trichoderma, beauveria dan metarhizium. Jamur yang hendak digunakan, terlebih dahulu dibiakkan dalam beberapa media. Jamur entomopatogen diperoleh dari Balai Penelitian Sungei Putih Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.
    Penyediaan Media
    Media yang akan digunakan terdiri dari beberapa media, yaitu kentang yang telah diptong bentuk dadu, kacang merah dan beras yang telah di kukus.
    Penyediaan Rayap
    Rayap diperoleh dari tanaman kelapa sawit yang terserang. Rayap yang diambil terdiri dari berbagai kasta yang ada dalam rayap dan juga dari berbagai instar yang ada. Rayap Diambil beserta sarangnya.
    Langkah – Langkah Penelitian
    Rayap dan bagian sarangnya dimasukkan kedalam stoples yang telah disediakan, lalu diaplikasikan jamur entomopatogen yang telah dibiakkan dibeberapa media. Apikasi entomopatogen dengan cara disemprot menggunakan handsprayer. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap rayap selama 14 (Empat Belas) hari dengan cara menghitung daya patogenesitas jamur entomopatogen atau dengan cara menghitung mortalitas rayap.

    Bagan percobaan terlampir.

    Parameter Pengamatan
    Parameter pengamatan dilakukan dengan cara menghitung tingkat mortalitas rayap, pengamatan dilakukan setiap hari dengan cara menghitung jumlah rayap yang mati akibat daya patogenesitas jamur entomopatogen tersebut. Pengamatan di lakukan selama 14 (Empat Belas) hari setelah aplikasi.
    .
















    BAB IV
    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Mortalitas Rayap 1 Hari Setelah Aplikasi (HSA)
    Data pengamatan mortalitas rayap pada 1(satu) Hari Setelah Aplikasi (HSA) beserta hasil analisis sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 1.
    Hasil analisis menunjukkan perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi serta interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap mortalitas rayap 1 Hari Setelah Aplikasi (HSA).
    Pengaruh jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada Tabel 1.
    Tabel 1. Pengaruh Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap 1 HSA

    Perlakuan M1 M2 M3 Rataan
    J1 0,50 0,25 0,25 0,33
    J2 0,50 0,75 0,75 0,67
    J3 0,75 0,75 1,00 0,83
    Rataan 0,58 0,58 0,67
    Keterangan : angka – angka yang tidak bernotasi pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT


    Mortalitas Rayap 2 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Data pengamatan mortalitas rayap 2 Hari Setelah Aplikasi (HSA) beserta hasil analisis sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 2.
    Hasil analisis menunjukkan perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap sedangkan interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap mortalitas rayap 2 Hari Setelah Aplikasi (HSA).
    Pengaruh jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada Tabel 2.
    Tabel 2. Pengaruh Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap 2 HSA

    Perlakuan M1 M2 M3 Rataan
    J1 1,00 1,50 1,25 1,25 c
    J2 3,50 5,00 3,25 3,92 b
    J3 3,50 5,75 5,25 4,83 a
    Rataan 2,67 c 4,08 a 3,25 b
    Keterangan : angka – angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata menurut DMRT Pada Taraf 5 %


    Mortalitas rayap terbanyak terdapat pada perlakuan J3 (Metarhizium anisopliae) yaitu 4,83, berbeda nyata dengan perlakuan J1 (Trichoderma koningii) dan J2 (Beauveria bassiana).
    Hubungan mortalitas rayap akibat perlakuan jamur entomopatogen disajikan pada Gambar 1.

    Gambar 1. Hubungan Mortalitas Rayap dengan Perlakuan Jamur Entomopatogen

    Efektifitas entomopatogen terbaik terdapat pada media kacang merah (M2) yaitu 4,08, berbeda nyata dengan perlakuan M1 (media kentang) dan M3 (media beras).
    Hubungan media aplikasi dalam mempengaruhi efektifitas entomopatogen terhadap mortalitas rayap disajikan pada Gambar 2.

    Gambar 2. Hubungan Mortalitas Rayap dengan Efektifitas Media Aplikasi Jamur
    Entomopatogen

    Dari hasil analisis sidik ragam, menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap.
    Untuk mengetahui kombinasi perlakuan mana yang memberi perbedaan tersebut, dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada lampiran 3.






    Hubungan kombinasi perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada Gambar 3.

    Gambar 3. Hubungan Kombinasi Perlakuan Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap


    Mortalitas Rayap 3 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Data pengamatan mortalitas rayap 3 Hari Setelah Aplikasi (HSA) beserta hasil analisis sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 3.
    Hasil analisis menunjukkan perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap sedangkan interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap mortalitas rayap 3 Hari Setelah Aplikasi (HSA).
    Pengaruh jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada table 4.

    Tabel 4. Pengaruh Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap 3 HSA

    Perlakuan M1 M2 M3 Rataan
    J1 2,00 4,00 3,25 3,08 b
    J2 10,00 11,75 10,50 10,75 ab
    J3 11,25 12,25 10,50 11,33 a
    Rataan 7,75 b 9,33 a 8,08 ab
    Keterangan : angka – angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata menurut DMRT

    Mortalitas rayap terbanyak terdapat pada perlakuan J3 (Metarhizium anisopliae) yaitu 11,33, berbeda nyata dengan perlakuan J1 (Trichoderma koningii) dan tidak berbeda nyatadengan perlakuan J2 (Beauveria bassiana).
    Hubungan mortalitas rayap akibat perlakuan jamur entomopatogen disajikan pada Gambar 4.


    Gambar 4. Hubungan Mortalitas Rayap dengan Perlakuan Jamur Entomopatogen

    Efektifitas entomopatogen terbaik terdapat pada media kacang merah (M2) yaitu 9,33, berbeda nyata dengan perlakuan M1 (media kentang) dan tidak berbeda nyata dengan M3 (media beras).
    Hubungan media aplikasi dalam mempengaruhi efektifitas entomopatogen terhadap mortalitas rayap disajikan pada Gambar 5.

    Gambar 5. Hubungan Mortalitas Rayap dengan Efektifitas Media Aplikasi Jamur
    Entomopatogen

    Dari hasil analisis sidik ragam, menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap.
    Untuk mengetahui kombinasi perlakuan mana yang memberi perbedaan tersebut, dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada lampiran 4.






    Hubungan kombinasi perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada Gambar 6.



    Gambar 6. Hubungan Kombinasi Perlakuan Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap

    Mortalitas Rayap 4 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Data pengamatan mortalitas rayap 4 Hari Setelah Aplikasi (HSA) beserta hasil analisis sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 4.
    Hasil analisis menunjukkan perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap sedangkan interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap mortalitas rayap 4 Hari Setelah Aplikasi (HSA).
    Pengaruh jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada Tabel 6.
    Tabel 6. Pengaruh Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap 4 HSA

    Perlakuan M1 M2 M3 Rataan
    J1 4,75 6,00 5,25 5,33 b
    J2 14,00 16,75 14,75 15,17ab
    J3 15,50 17,25 14,75 15,83 a
    Rataan 11,42 b 13,33 a 11,58 ab
    Keterangan : angka – angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata menurut DMRT

    Mortalitas rayap terbanyak terdapat pada perlakuan J3 (Metarhizium anisopliae) yaitu 15,83, berbeda nyata dengan perlakuan J1 (Trichoderma koningii) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan J2 (Beauveria bassiana).
    Hubungan mortalitas rayap akibat perlakuan jamur entomopatogen disajikan pada Gambar 7.

    Gambar 7. Hubungan Mortalitas Rayap dengan Perlakuan Jamur Entomopatogen

    Efektifitas entomopatogen terbaik terdapat pada media kacang merah (M2) yaitu 11,33, berbeda nyata dengan perlakuan M1 (media kentang) dan tidak berbeda nyata dengan M3 (media beras).

    Hubungan media aplikasi dalam mempengaruhi efektifitas entomopatogen terhadap mortalitas rayap disajikan pada Gambar 8.


    Gambar 8. Hubungan Mortalitas Rayap dengan Efektifitas Media Aplikasi Jamur
    Entomopatogen

    Dari hasil analisis sidik ragam, menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap.
    Untuk mengetahui kombinasi perlakuan mana yang memberi perbedaan tersebut, dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada lampiran 5.





    Hubungan kombinasi perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada Gambar 9.

    Gambar 9. Hubungan Kombinasi Perlakuan Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap

    Mortalitas Rayap 5 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Data pengamatan mortalitas rayap 4 Hari Setelah Aplikasi (HSA) beserta hasil analisis sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 5.
    Hasil analisis menunjukkan perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap sedangkan interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap mortalitas rayap 5 Hari Setelah Aplikasi (HSA).
    Pengaruh jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada Tabel 8.





    Tabel 8. Pengaruh Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap 5 HSA

    Perlakuan M1 M2 M3 Rataan
    J1 9,00 9,25 8,75 9,00 c
    J2 19,25 20,25 20,00 19,83 b
    J3 20,75 22,50 19,25 20,83 a
    Rataan 16,33 17,33 16,00
    Keterangan : angka – angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata menurut DMRT dan yang tidak bernotasi tidak berbeda nyata

    Mortalitas rayap terbanyak terdapat pada perlakuan J3 (Metarhizium anisopliae) yaitu 20,83, berbeda nyata dengan perlakuan J1 (Trichoderma koningii) dan J2 (Beauveria bassiana).
    Hubungan mortalitas rayap akibat perlakuan jamur entomopatogen disajikan pada Gambar 10.

    Gambar 10. Hubungan Mortalitas Rayap dengan Perlakuan Jamur Entomopatogen

    Dari hasil analisis sidik ragam, menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap.
    Untuk mengetahui kombinasi perlakuan mana yang memberi perbedaan tersebut, dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6.


    Hubungan kombinasi perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada Gambar 11.

    Gambar 11. Hubungan Kombinasi Perlakuan Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap



    Mortalitas Rayap 6 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Data pengamatan mortalitas rayap 6 Hari Setelah Aplikasi (HSA) beserta hasil analisis sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 6.
    Hasil analisis menunjukkan perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap sedangkan interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap mortalitas rayap 6 Hari Setelah Aplikasi (HSA).
    Pengaruh jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada Tabel 10.

    Tabel 10. Pengaruh Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap 6 HSA

    Perlakuan M1 M2 M3 Rataan
    J1 11,25 13,25 12,00 12,17 c
    J2 22,75 24,50 23,25 23,50 b
    J3 24,00 25,00 23,25 24,08 a
    Rataan 19,33 b 20,92 a 19,50 b
    Keterangan : angka – angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata menurut DMRT

    Mortalitas rayap terbanyak terdapat pada perlakuan J3 (Metarhizium anisopliae) yaitu 24,08, berbeda nyata dengan perlakuan J1 (Trichoderma koningii) dan J2 (Beauveria bassiana).
    Hubungan mortalitas rayap akibat perlakuan jamur entomopatogen disajikan pada Gambar 12.

    Gambar 12. Hubungan Mortalitas Rayap dengan Perlakuan Jamur Entomopatogen

    Efektifitas entomopatogen terbaik terdapat pada media kacang merah (M2) yaitu 20,92, berbeda nyata dengan perlakuan M1 (media kentang) dan M3 (media beras).
    Hubungan media aplikasi dalam mempengaruhi efektifitas entomopatogen terhadap mortalitas rayap disajikan pada Gambar 13.

    Gambar 13. Hubungan Mortalitas Rayap dengan Efektifitas Media Aplikasi Jamur
    Entomopatogen


    Dari hasil analisis sidik ragam, menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap.
    Untuk mengetahui kombinasi perlakuan mana yang memberi perbedaan tersebut, dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada lampiran 7.


    Hubungan kombinasi perlakuan jamur entomopatogen dan media aplikasi terhadap mortalitas rayap disajikan pada Gambar 14.

    Gambar 14. Hubungan Kombinasi Perlakuan Jamur Entomopatogen dan Media Aplikasi Terhadap Mortalitas Rayap
    Dari data pengamatan yang diperoleh serta dari beberapa tabel yang disajikan dalam lampiran dapat dikemukakan bahwa pengamatan pertama dari semua perlakuan yang dikaji belum menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kontrol, karena aplikasi baru saja dimulai dan belum lama. Sudarmadji (1996) menyatakan serangga terinfeksi oleh jamur entomopatogen akan nampak setelah 2 – 5 hari, itupun kalau sporanya menyentuh langsung ke tubuh serangga. Spora yang menempel pada tubuh serangga dalam kondisi lingkungan mikro yang sesuai akan berkecambah, suhunya antara 23 – 25 0C dan kelembapan sekitar 92 %.
    Selanjutnya pengamatan yang dilakukan pada 3 – 6 Hari Setelah Aplikasi (HSA) menunjukkan bahwa dari beberapa sampel atau ulangan dari beberapa perlakuan telah menunjukkan kematian pada serangga uji, bahkan pada pengamatan 5 HSA telah ada sampel yang mencapai kematian hingga 100 %, ini menunjukkan bahwa dosis (kerapatan spora) juga mempengaruhi efektifitas jamur entomopatogen yang diberikan. Menurut Hamidah et al (1998), menyatakan bahwa faktor dan konsentrasi akan mempengaruhi jumlah kematian serangga uji.
    Menurut Hajek (1994) ada beberapa fungsi enzim dan racun yang dihasilkan jamur entomopatogen yang mempengaruhi perkembangan inangya, yaitu :
    Mempengaruhi sifat fisik dan kimia kutikula yang terdiri dari zat kitin sehingga dapat ditembus oleh jamur.
    Mempengaruhi enzim dan reaksi tertentu dalam tubuh serangga hama.
    Mempengaruhi sisitem regulasi dalam tubuh serangga.
    Mencapai hemosel, dapat mematikan serangga karena dimanfaatkan jamur dan keracunan karena toksin.
    Ciri serangga yang terinfeksi jamur entomopatogen dengan cara menginfeksi langsung menembus kutikula, spora yang jatuh pada permukaan kutikula berkecambah membentuk bulu kecambah, selanjutnya untuk menembus lapisan kutikula digunakan tabung penetrasi yang dibentuk pada ujung tabung kecambah. Penetrasi terjadi terutama karena kekuatan mekanis, selain itu proses penetrasi juga dibantu oleh enzim khitinase. Perkembangan hifa selanjutnya tidak terlepas dari peranan enzim lain seperti protease dan lipase. Setelah mencapai saluran pembuluh darah, jamur tumbuh dengan pesat sehingga nutrisi didalam tubuh serangga terkuras (Ferron, 1981).


    Gambar 11.Rayap Terinfeksi Jamur Entomopatogen



    Kombinasi antara faktor jenis jamur entomopatogen yaitu Metarhizium anisoplae dengan faktor jenis media yaitu kacang merah menjadi kombinasi antara kedua faktor yang sangat efektif, hal ini ditunjukkan dari data pengamatan yang menunjukkan bahwa kombinasi antara kedua faktor ini adalah yang pertama mencapai kematian (mortalitas) serangga uji hingga 100 %.
    Hal ini di sebabkan karena dalam kacang merah terdapat beberapa komponen yang dibutuhkan oleh jamur – jamur entomopatogen untuk menginfeksi serangga inangnya. Menurut Afriansyah (2004) kandungan asam folat, kalsium, karbohidrat kompleks, serat, dan protein dalam kacang merah tergolong tinggi.
    Kacang merah adalah sumber yang andal untuk karbohidrat kompleks, serat, vitamin B (terutama asam folat dan vitamin B1), kalsium, fosfor, zat besi, dan protein. Setiap 100 gram kacang merah kering yang telah direbus dapat menyediakan protein sebesar 19 dan 21 persen dari angka kecukupan protein yang dibutuhkan.
    Selain kacang merah, jenis media aplikasi lainnya juga dianggap efektif sebagai media tumbuh jamur entomopatogen yang akan digunakan untuk mengendalikan serangga hama terutama rayap.
    Menurut Astawan (2004) Kentang juga merupakan sumber yang baik akan berbagai mineral, seperti kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe) dan kalium (K), masing-masing 26,0; 49,0; 1,1; dan 449 mg/100 g. Di lain pihak, kandungan natriumnya sangat rendah, yaitu 0,4 mg/100 g. Adapun komposisi Kentang (per 100 gram bahan) adalah :


    KOMPONEN KADAR (mg)
    Kalori 23 kal
    Karbohidrat 19.100
    Protein 2.000
    Lemak 100
    Phosphor 56
    Kalsium 11
    Besi 0,7


    Sedangkan pada beras juga terdapat berbagai jenis komponen yang dibutuhkan oleh jamur entomopatogen untuk menginfeksi serangga inangnya. Tetapi diantara ketiga media aplikasi yang digunakan beras merupakan media aplikasi yang paling rendah kandungan proteinnya. Hal ini di perkuat oleh Kusmiadi (2004) yang menyatakan bahwa beras terdiri dari beberapa komponen yang meliputi Karbohidrat, Protein, Lemak, Vitamin Mineral dan komponen lainnya. Besar masing-masing komponen di pengaruhi oleh varietas, lingkungan budidaya dan metoda analisa yang dilakukan. Kandungan karbohidrat 74,9-77,8%,protein7,1-8,3%,lemak0,5-0,9%.
















    BAB V
    KESIMPULAN DAN SARAN

    KESIMPULAN
    Dari hasil Penelitian yang telah dilakukan tentang pengendalian rayap dengan menggunakan jamur entomopatogen, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
    1. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 6 (enam) hari, jamur Metarhizium anisoplae merupakan jamur entomopatogen yang paling efektif untuk mengendalikan rayap pada tanaman kelapa sawit.
    2. Media kacang merah merupakan media aplikasi yang paling efektif sebagai media tumbuh jamur – jamur entomopatogen.
    3. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan jamur – jamur entomopatogen tersebut dapat dimanfaatkan sebagai agensia hayati pada rayap.

    SARAN
    Dari hasil penelitian yang dilakukan, hendaknya perlu juga diadakannya uji lapangan serta juga perlu adanya pengembangan penelitian yang lebih luas untuk mengetahui viabilitas dan daya patogenesitas dari jamur – jamur entomopatogen tersebut.



    DAFTAR PUSTAKA

    Anonimus, 2006. Mencegah Serangan Rayap. CV. Protek. Jakarta.
    Afriansyah, N. 2004. Sisi Baik Dalam Kandungan Kacang Merah. Dalam Website http://64.203.71.11/kompas-cetak/0410/29/ilpeng/1351379.htm.

    Astawan, M. 2004. Kentang Merupakan Salah Satu Sumber Gizi. Dalam Website www.Gizi.net –

    Basuki dan Situmorang. 1993.Trichoderma koningii dan Pemanfaatannya Dalam Pengendalian Penyakit Akar Putih ( R. microporus). Pada Tanaman Karet, Warta Perkaretan. Vol 13 (1), Pusat Penelitian Karet Sei Putih. Hal 19.

    Bakti, B, K. Nasution, 2002. Kajian Beberapa Aspek Biologi Rayap Captotermes curvignathus Holmgreen Sebagai Dasar Pengendalian Rayap Terpadu Pada Pertanaman Kelapa Sawit. Disertasi Doktor, Universitas Gajah Mada.

    Bakti, D, 2005. Rayap dan Strategi Pengendaliannya Pada Tanaman Kelapa Sawit. Universitas Sumatera Utara. Medan

    Ferron, P. 1981. Pest Control By Fungi Beauveria an Metarhizium, In HD Burges (Ed), Microbial Control of Pest and Plant Diadeas.

    Gilman, J.C., 1971. A. Manual Of Soil Fungi, The Lowa State University Press, Ames, Lowa, Usa. P 212-13, 288-291.

    Hajek, C. B. 1994. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis, Universitas Indonesia, Hal 216 – 220.

    Hasyim, A, Azwana dan Mu’minin, K, 2003. Cara Mudah Mendapatkan Jamur Entomopatogen Beauveria Bassiana. Dalam website www.balitbu.go.id/infitek1.com .

    Hamidah, Latief, Rosmaida, Affandi, H. 1998, Pengaruh Berbagai Fraksi Daun Anona muricata Terhadap Perkembangan dan Mortalitas Larva A. aegepty, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Universitas Airlangga, Surabaya.

    Krishna K, (1970 ) dalam Bakti 2005, “Toxonomy, Phylogeny, and Distribution of Ternites” in Biology of Termites Vol 2 Krishna, K and F. M Weesner. Academic Press, New York and London : 125 – 173.

    Kusmiadi, R. 2004. Beras Merupakan Tanaman Pangan dan Makanan Pokok Yang Kaya akan Karbohidrat. Dalam Website http ://www.ubb.ac.id
    Mustafa, 2005. Pemanfaatan Jamur Entomopatogen Beauveria Bassiana Untuk Mengendalikan Serangga Hama. Dalam website www.medanbisnisonline.com.

    Papavizas, 1985. dalam Basuki dan Situmorang, 1993. Trichoderma koningii dan Pemanfaatannya Dalam Pengendalian Penyakit Akar Putih ( R. microporus). Pada Tanaman Karet, Warta Perkaretan. Vol 13 (1), Pusat Penelitian Karet Sei Putih.

    Rifai, 1969. dalam Basuki .1986. Pengaruh Belerang dan pengendalian Biologi Penyakit Akar Putih pada Karet, Konperensi Nasional Karet, Medan.

    Rifai, 1969. dalam Basuki dan Situmorang. 1993. Trichoderma koningii dan Pemanfaatannya Dalam Pengendalian Penyakit Akar Putih ( R. microporus). Pada Tanaman Karet, Warta Perkaretan. Vol 13 (1), Pusat Penelitian Karet Sei Putih.

    Rayati dan Widayat, 2006. Patogenitas jamur Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Peacilomyces fumosoroseus terhadap rayap pada tanaman teh dalam www.ritc.or.id/publikasi/volume-9nomor-3.html).

    Sudarmadji, D, 1996. Pemanfaatan Jamuur Beauveria Bassiana untuk mengendalikan Heliotes antonii. Warta. Puslit Biotek Perkebunan. APPI. Indonesia Tahun II no 1 : 36 - 42

    Wahyono, T dan Tarigan, N, 2007. Uji Patogenesitas Agens Hayati Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae.

    Westcatt, C., 1976. Plant Diseases Hand Book, Van Nostrand Reinhold Company (VNB), Newyork . P 357.

    (www.ditlin.hortikultura.go.id).











    Lampiran 1

    BAGAN PERCOBAAN

























    Lampiran 2. Mortalitas Rayap 1 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Ulangan
    I II III IV
    J1M1 0,00 1,00 1,00 0,00 2,00 0,50
    J1M2 0,00 0,00 0,00 1,00 1,00 0,25
    J1M3 0,00 0,00 0,00 1,00 1,00 0,25
    J2M1 0,00 1,00 1,00 0,00 2,00 0,50
    J2M2 0,00 1,00 1,00 1,00 3,00 0,75
    J2M3 0,00 1,00 1,00 1,00 3,00 0,75
    J3M1 0,00 1,00 1,00 1,00 3,00 0,75
    J3M2 0,00 1,00 1,00 1,00 3,00 0,75
    J3M3 1,00 1,00 1,00 1,00 4,00 1,00
    Total 1,00 7,00 7,00 7,00 22,00 0,61


    Sidik Ragam Mortalitas Rayap 1 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    F. Tabel
    0,05 0,01
    Perlakuan 8 2,05556 0,25695 1,06733 tn 2,30 3,26
    J 2 1,55556 0,77778 3,23079 tn 3,35 5,49
    M 2 0,05556 0,02778 0,11539 tn 3,35 5,49
    J x M 4 0,44444 0,11111 0,46154 tn 2,73 4,11
    Galat 27 6,50000 0,24074 -
    Total 35 8,55556

    Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
    KK = 80,43 %















    Lampiran 3. Mortalitas Rayap 2 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Ulangan
    I II III IV
    J1M1 0,00 2,00 2,00 0,00 4,00 1,00
    J1M2 1,00 1,00 1,00 3,00 6,00 1,50
    J1M3 1,00 1,00 1,00 2,00 5,00 1,25
    J2M1 2,00 5,00 4,00 3,00 14,00 3,50
    J2M2 3,00 5,00 6,00 6,00 20,00 5,00
    J2M3 2,00 4,00 4,00 3,00 13,00 3,25
    J3M1 2,00 4,00 2,00 6,00 14,00 3,50
    J3M2 6,00 7,00 4,00 6,00 23,00 5,75
    J3M3 4,00 5,00 5,00 7,00 21,00 5,25
    Total 21,00 34,00 29,00 36,00 120,00 3,33

    Sidik Ragam Mortalitas Rayap 2 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    F. Tabel
    0,05 0,01
    Perlakuan 8 102,00000 12,75000 8,19641 ** 2,30 3,26
    J 2 83,16667 41,58334 26,73207 ** 3,35 5,49
    M 2 12,16667 6,08334 3,91071 * 3,35 5,49
    J x M 4 6,66666 1,66667 1,07143 tn 2,73 4,11
    Galat 27 42,00000 1,55556 -
    Total 35 144,00000
    Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
    * = berbeda nyata
    ** = sangat berbeda nyata
    KK = 37,45 %

    Hasil Uji Lanjutan Berdasarkan Uji Beda Jarak Nyata Duncan Pada Taraf 5 %
    Perlakuan Rataan Persentase Mortalitas Rayap BJND 5 %
    J1M1 1,00 d
    J1M2 1,50 d
    J1M3 1,25 d
    J2M1 3,50 c
    J2M2 5,00 b
    J2M3 3,25 c
    J3M1 3,50 c
    J3M2 5,75 a
    J3M3 5,25 a
    Angka –angka Yang diikuti Huruf Yang Sama Berbeda Tidak Nyata Pada Taraf 5 %

    Jarak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
    SSR - 2,91 3,05 3,14 3,21 3,27 3,30 3,34 3,36
    LSR - 1,81 1,90 1,96 2,00 2,04 2,06 2,08 2,10
    Lampiran 4. Mortalitas Rayap 3 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Ulangan
    I II III IV
    J1M1 1,00 3,00 3,00 1,00 8,00 2,00
    J1M2 4,00 3,00 3,00 6,00 16,00 4,00
    J1M3 3,00 3,00 3,00 4,00 13,00 3,25
    J2M1 8,00 12,00 11,00 9,00 40,00 10,00
    J2M2 11,00 13,00 12,00 11,00 47,00 11,75
    J2M3 10,00 11,00 11,00 10,00 42,00 10,50
    J3M1 8,00 13,00 10,00 14,00 45,00 11,25
    J3M2 11,00 15,00 10,00 13,00 49,00 12,25
    J3M3 9,00 11,00 10,00 12,00 42,00 10,50
    Total 65,00 84,00 73,00 80,00 302,00 8,39

    Sidik Ragam Mortalitas Rayap 3 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    F. Tabel
    0,05 0,01
    Perlakuan 8 529,55556 66,19445 26,67539 ** 2,30 3,26
    J 2 508,72223 254,36112 102,50380 ** 3,35 5,49
    M 2 16,72223 8,36112 3,36941 * 3,35 5,49
    J x M 4 4,11110 1,02778 0,41418 tn 2,73 4,11
    Galat 27 67,00000 2,48148 -
    Total 35 596,55556
    Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
    * = berbeda nyata
    ** = sangat berbeda nyata
    KK = 18,78 %

    Hasil Uji Lanjutan Berdasarkan Uji Beda Jarak Nyata Duncan Pada Taraf 5 %
    Perlakuan Rataan Persentase Mortalitas Rayap BJND 5 %
    J1M1 2,00 e
    J1M2 4,00 c
    J1M3 3,25 d
    J2M1 10,00 b
    J2M2 11,75 a
    J2M3 10,50 b
    J3M1 11,25 a
    J3M2 12,25 a
    J3M3 10,50 b
    Angka –angka Yang diikuti Huruf Yang Sama Berbeda Tidak Nyata Pada Taraf 5 %

    Jarak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
    SSR - 2,91 3,05 3,14 3,21 3,27 3,30 3,34 3,36
    LSR - 2,29 2,40 2,47 2,53 2,58 2,60 2,63 2,65
    Lampiran 5. Mortalitas Rayap 4 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Ulangan
    I II III IV
    J1M1 3,00 6,00 6,00 4,00 19,00 4,75
    J1M2 6,00 5,00 5,00 8,00 24,00 6,00
    J1M3 4,00 5,00 5,00 7,00 21,00 5,25
    J2M1 12,00 16,00 16,00 12,00 56,00 14,00
    J2M2 16,00 18,00 17,00 16,00 67,00 16,75
    J2M3 14,00 16,00 15,00 14,00 59,00 14,75
    J3M1 12,00 17,00 15,00 18,00 62,00 15,50
    J3M2 16,00 20,00 16,00 17,00 69,00 17,25
    J3M3 12,00 15,00 15,00 17,00 59,00 14,75
    Total 95,00 118,00 110,00 113,00 436,00 12,11

    Sidik Ragam Mortalitas Rayap 4 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    F. Tabel
    0,05 0,01
    Perlakuan 8 862,05556 107,75695 34,84359 ** 2,30 3,26
    J 2 829,55556 414,77778 134,11987 ** 3,35 5,49
    M 2 27,05556 13,52778 4,37426 * 3,35 5,49
    J x M 4 5,44444 1,36111 0,44012 tn 2,73 4,11
    Galat 27 83,50000 3,09259 -
    Total 35 945,55556
    Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
    * = berbeda nyata
    ** = sangat berbeda nyata
    KK = 14,52 %

    Hasil Uji Lanjutan Berdasarkan Uji Beda Jarak Nyata Duncan Pada Taraf 5 %
    Perlakuan Rataan Persentase Mortalitas Rayap BJND 5 %
    J1M1 4,75 d
    J1M2 6,00 c
    J1M3 5,25 c
    J2M1 14,00 b
    J2M2 16,75 a
    J2M3 14,75 b
    J3M1 15,50 a
    J3M2 17,25 a
    J3M3 14,75 b
    Angka –angka Yang diikuti Huruf Yang Sama Berbeda Tidak Nyata Pada Taraf 5 %

    Jarak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
    SSR - 2,91 3,05 3,14 3,21 3,27 3,30 3,34 3,36
    LSR - 2,56 2,68 2,75 2,82 2,88 2,90 2,94 2,95
    Lampiran 6. Mortalitas Rayap 5 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Ulangan
    I II III IV
    J1M1 6,00 10,00 11,00 9,00 36,00 9,00
    J1M2 8,00 9,00 9,00 11,00 37,00 9,25
    J1M3 7,00 9,00 10,00 9,00 35,00 8,75
    J2M1 18,00 21,00 20,00 18,00 77,00 19,25
    J2M2 21,00 22,00 19,00 19,00 81,00 20,25
    J2M3 18,00 22,00 19,00 21,00 80,00 20,00
    J3M1 18,00 23,00 20,00 22,00 83,00 20,75
    J3M2 21,00 24,00 23,00 22,00 90,00 22,50
    J3M3 18,00 20,00 19,00 20,00 77,00 19,25
    Total 135,00 160,00 150,00 151,00 596,00 16,56

    Sidik Ragam Mortalitas Rayap 5 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    F. Tabel
    0,05 0,01
    Perlakuan 8 1057,38889 132,17361 51,34810 ** 2,30 3,26
    J 2 1033,55556 516,77778 200,76291 ** 3,35 5,49
    M 2 11,55556 5,77778 2,24461 tn 3,35 5,49
    J x M 4 12,27777 3,06944 1,19245 tn 2,73 4,11
    Galat 27 69,50000 2,57407 -
    Total 35 1126,88889
    Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
    * = berbeda nyata
    ** = sangat berbeda nyata
    KK = 9,69 %

    Hasil Uji Lanjutan Berdasarkan Uji Beda Jarak Nyata Duncan Pada Taraf 5 %
    Perlakuan Rataan Persentase Mortalitas Rayap BJND 5 %
    J1M1 9,00 c
    J1M2 9,25 c
    J1M3 8,75 d
    J2M1 19,25 b
    J2M2 20,25 b
    J2M3 20,00 b
    J3M1 20,75 a
    J3M2 22,50 a
    J3M3 19,25 b
    Angka –angka Yang diikuti Huruf Yang Sama Berbeda Tidak Nyata Pada Taraf 5 %

    Jarak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
    SSR - 2,91 3,05 3,14 3,21 3,27 3,30 3,34 3,36
    LSR - 2,33 2,45 2,52 2,58 2,62 2,65 2,68 2,70
    Lampiran 7. Mortalitas Rayap 6 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    Ulangan
    I II III IV
    J1M1 8,00 12,00 13,00 12,00 45,00 11,25
    J1M2 12,00 13,00 13,00 15,00 53,00 13,25
    J1M3 11,00 12,00 13,00 12,00 48,00 12,00
    J2M1 21,00 24,00 25,00 21,00 91,00 22,75
    J2M2 25,00 25,00 24,00 24,00 98,00 24,50
    J2M3 21,00 25,00 22,00 25,00 93,00 23,25
    J3M1 21,00 25,00 25,00 25,00 96,00 24,00
    J3M2 25,00 25,00 25,00 25,00 100,00 25,00
    J3M3 21,00 25,00 25,00 22,00 93,00 23,25
    Total 165,00 186,00 185,00 181,00 717,00 19,92

    Sidik Ragam Mortalitas Rayap 6 Hari Setelah Aplikasi (HSA)

    F. Tabel
    0,05 0,01
    Perlakuan 8 1104,00000 138,00000 51,21658 ** 2,30 3,26
    J 2 1083,16667 541,58334 201,00033 ** 3,35 5,49
    M 2 18,16667 9,08334 3,37114 * 3,35 5,49
    J x M 4 2,66666 0,66667 0,24742 tn 2,73 4,11
    Galat 27 72,75000 2,69444
    Total 35 1176,75000
    Keterangan : tn = tidak berbeda nyata
    * = berbeda nyata
    ** = sangat berbeda nyata
    KK = 8,24 %

    Hasil Uji Lanjutan Berdasarkan Uji Beda Jarak Nyata Duncan Pada Taraf 5 %
    Perlakuan Rataan Persentase Mortalitas Rayap BJND 5 %
    J1M1 11,25 d
    J1M2 13,25 c
    J1M3 12,00 e
    J2M1 22,75 b
    J2M2 24,50 a
    J2M3 23,25 b
    J3M1 24,00 a
    J3M2 25,00 a
    J3M3 23,25 b
    Angka –angka Yang diikuti Huruf Yang Sama Berbeda Tidak Nyata Pada Taraf 5 %

    Jarak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
    SSR - 2,91 3,05 3,14 3,21 3,27 3,30 3,34 3,36
    LSR - 2,39 2,50 2,58 2,63 2,68 2,71 2,74 2,76
    Lampiran 8. Foto Biakan Murni Jamur Entomopatogen

    Biakan Murni Jamur Beauveria bassiana





    Biakan Murni Jamur Trichoderma koningii




    Lampiran 9. Foto Biakan Murni Jamur Entomopatogen

    Biakan Murni Jamur Metarhizium anisoplae





    Sarang Rayap Yang Sehat




    Lampiran 10. Foto Sarang Rayap Terinfeksi Jamur Entomopatogen

    Sarang Rayap Ternifeksi Jamur Entomopatogen





    Sarang Rayap Terinfeksi Jamur Entomopatogen





    Lampiran 11. Foto Sehat dan Yang Terserang Jamur Entomopatogen

    Rayap Yang Sehat / Tidak Terinfeksi
    Sumber : Copyright © 2001   Rudy C Tarumingkeng, PSIH IPB




















    Rayap Terinfeksi Jamur Entomopatogen
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini