-->
  • Jelajahi

    Copyright © POTRET PERTANIAN
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Pengertian Bid'ah dan Hukumnya Menurut Golongan Wahabi dan Ahli Sunnah wal Jama'ah

    Prasetyo Budi
    Kamis, Desember 31, 2015, Kamis, Desember 31, 2015 WIB Last Updated 2018-07-15T18:36:52Z


    masukkan script iklan disini
    Ahli Bid'ah..kafirr nte!!
    Pengertian Bid'ah dan Hukumnya Menurut Golongan Wahabi dan Ahli Sunnah wal Jama'ah  - Bid'ah merupakan kalimat yang biasa di gunakan kelompok Muslim tertentu untuk men-justice kelompok Muslim lainnya sebagai kelompok sesat dan melenceng dari ajaran yang benar sesuai sariat yang di bawa oleh Nabi saw.
    Segala perbuatan yang tidak di contohklan oleh Nabi saw tergolong perbuatan sesat dan haram di lakukan, karena hal itu termasuk bid'ah dan segala yang bid'ah itu sesat dan segala kesesatan itu tempat yang pantas hanyalah di neraka.

    Jadi, tukang bid'ah dan pelaku perbuatan bid'ah adalah manusia ahli neraka! Seperti itulah sebagian Muslim menuduh muslim lainnya yang tidak sepaham, sehingga akhirnya kalimat bid'ah menjadi pembahasan yang serius oleh sebagian besar umat Islam.

    Lalu, apa sih yang di maksud dengan bid'ah? Benarkah segala perbuatan yang tidak di contohkan oleh Nabi saw di kategorikan sebagai bid'ah? Benarkah semua bid'ah itu sesat dan neraka sebagai balasannya? Untuk menjawab itu semua, mari kita kaji keterangan-keterangan di bawah ini.

    super hero pun ahli bid'ah

    Pengertian Bid'ah

    Secara Etimologi
    Para ulama Kufah, yaitu golongan ahli bahas yang paling fasih dalam memahami bahas Al-Qur'an sepakat bahwa kata Bid'ah merupakan kalimat Muttasharif yang merupakan pecahan (musytaq)dari isim masdar. 

    Kata ini berasal dari al-Fi'il al-Madhi (ba-da-'a) yang masuk bab tiga dalam al-Tashrif al-fi'li, di mana 'ain  Fi'il pada al-Fi'il al-Madhi dan 'ain fi'il pada al-FI'il al-mudhori' sama-sama di baca fathah.

    Secara Etimologi, Bid'ah bermakna yang pertama atau yang mengawali.

    Makna ini di landasi oleh kalimat yang terdapat pada al-Qur'an surat al-Ahqof ayat 9 sebagai berikut :

    "Katakanlah (Muhammad), Aku bukanlah Rosul yang pertama diantara Rosul-Rosul dan aku tidak mengetahui apa yang aku perbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang di wahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan "
       
    Dengan demikian, secara bahasa, "segala sesuatu yang menunjukan arti yang pertama atau yang mengawali di sebut bid'ah".

    Jangan berda'wah di sosmed..bid'ah!!

    Secara Terminologi
    Pengertian bid'ah secara istilah sangatlah beragam. Pengertian ini berdasarkan pendapat para ulama ahli bahasa dan ahli tafsir yang mu'tabaroh serta telah di akui kesahihan ilmunya oleh jumhur ulama sedunia. Di bawah in akan di jelaskan tentang itu. 
    • Syeikh al-Imam al-Hafidz Muhyidin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawai atau yang lebih di kenal dengan sebutan Imam Nawawi. Beliau lahir pada Bulan Muharram  tahun 631 Hijriyah atau 1234 Masehi di kota Nawa, dan wafat tanggal 24 Rajab 676 H/1277 H di kota Nawa. Dalam Kitab Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat, juz 3, halaman 22, beliau menyatakan bahwa : "Yang di sebut bid'ah adalah melakukan atau melaksanakan sesuatu yang belum pernah di lakukan di zaman Rosululloh saw".

    • Syeikh al-Imam al-hafidz 'Izzuddin ibn Abdussalam, lahir tahun 577 H/1181 M dan wafat pada tahun 660 H/1262 M dalam kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz 2, halaman 172, menyatakan : "Bid'ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah di kenal (terjadi) pada masa Rosululloh saw".
      Bid'ah Hasanah
    • Syeikh al-Imam Badruddin Mahmud Ibn Ahmad al-Aini, beliau di lahirkan pada tahun 762 H/1361 M dan wafat pada tahun 855 H / 1451 M. Dalam Kitabnya yang berjudul Umdah al-Qariy, juz 11, halaman 126 di sebutkan bahwa : "Bid'ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada di zaman Rosululloh saw".
    • Syeikh al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaniy. Nama lengkap beliau adalah Ahmad Ibn Ali Ibn Muhammad Abdul Fadhil al-Kinani al-Mishri al-Syafi'i. Beliau di lahirkan di Mesir pada tahun 773 H dan wafat pada tahun 827 H. Dalam Kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz 4, halaman 253, beliau menyatakan bahwa : "Yang di sebut bid'ah adalah sesuatu yang di kerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya".
    • Syeikh al-Imam Muhammad Ibn Isma'il al-Sha'ani, dalam kitab Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, juz 2, halaman 48, menyatakan bahw : "Bid'ah menurut bahasa adalah sesuatu yang di kerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya".
    Kesipulan dari pernyataan-pernyataan dari para ulama di atas mengenai bid'ah adalah segala perbuatan yang di lakukan tanpa ada contoh sebelumnya dari Rosululloh saw.

    Di karenakan orientasi bid'ah terkait dengan masalah ibadah (ubudiyah), maka definisi dari bid'ah yang lebih luas berdasarkan fatwa ulama di atas adalah :  "segala perbuatan yang bersifat ibadahyang tidak di lakukan atau tidak di contohkan sebelumnya oleh Rosululloh saw pada masa beliau masih hidup, tetapi kemudian di lakukan dan di laksanakan oleh umatnya sesuadah beliau wafat".


    Hukum Bid'ah
    Dalam menyikapi masalah bid'ah, terdapat dua pandangan yang berbeda dan sangat kontradiktif. Ada yang menyikapi dengan mengatakan bahwa hukum bid'ah adalah mutlak haram. Ada juga yang mengatakan bahwa hukum bid'ah ada yang halal dan ada juga yang haram.  
     
    Hukum Bid'ah

    Golongan yang menyatakan bahwa bid'ah adalah mutlak haram adalah golongan Wahabi. Sedangkan golongan yang menyatakan bahwa bid'ah itu ada yang halal dan ada juga yang haram adalah Golongan Ahli Sunnah Wal Jama'ah.

    Bid'ah menurut Golongan Wahabi
    Sebagaimana yang telah di kemukakan sebelumnya bahwa menurut golongan Wahabi, bid'ah merupakan perbuatan yang mutlak haram dan perbuatan seperti itu tidak boleh di lakukan oleh siapapun, bagi pelakunya di jamin masuk neraka. Hal ini di sampaikan oleh tokoh-tokoh besar Wahabi terkemuka. Di antaranya adalah Syeikh Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz, Syeikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin dan Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

    Mereka mengatakan bahwa setiap bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat pasti masuk neraka. Hal ini berdasarkan pemahaman mereka terhadap hadits Rosululloh saw yang berbunyi :

    "Setiap bid'ah itu sesat"..

    Hadits ini di riwayatkan oleh al-Imam Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 3, halaman 310, No : 14373. Dalam Shahih Muslim, juz 2, halaman 592, No : 1578. Dalam kitab Sunan Ibn Majah, Juz 1, Halaman 17, No : 45.

    Menurut Golongan Wahabi, semua perbuatan yang tergolong bid'ah adalah sesat dan haram untuk di lakukan. Golongan Wahabi tidak sependapat dengan sebagian besar ulama yang menyatakan bahwa bid'ah itu bisa terbagi atas beberapa bagian yaitu : bid'ah yang baik (mahmudah atau hasanah) dan bid'ah yang tercela ( bid'ah mazhmumah ).

    Pernyataan Golongan Wahabi ini di perkuat dengan pernyatan Syeikh Muhammad al-Utsaimin  yang merupakan salah satu tokoh terkemuka kaum Wahabi dalam kitabnya al-Ibda' fi kamal al-Sar'i wa Khathar al-Ibtida', halaman 13, yang menyatakan :

    Menurutnya, Hadits "semua bid'ah adalah sesat" bersifat general, umum, menyeluruh, tidak boleh ada pengecualian, di perkuat dengan kata yang menunjukan arti semua dan umum yaitu kata "kullun" yang mengandung arti "seluruh atau semua". Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita di benarkan untuk membagi bid'ah menjadi tiga macam bagian atau lima macam bagian? selamanya hal ini tidakk bisa di benarkan.

    Namun, ternyata syeikh al-Utsaimin tidak konsisten dengan dengan pendapatnya sendiri, di mana dia menyatakan dengan tegas bahwa semua bid'ah adalah sesat dan bid'ah tidakk boleh di bagi-bagi, ternyata pendapatnya ini di bantah sendiri, seperti penjelasan yamg di tulis dalamm kitabnya yang berjudul Syarh al-Aqidah al-Wasthiyah pada halaman 639-640 yang termaktub sebagai berikut :


    "Hukum asal perkara baru dalam urusan dunia adalah halal. Jadi, Bid'ah dalam urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya. Tapi hukum asal perkara baru dalam urusan agama adalah di larang. Jadi, berbuat bid'ah dalam urusan agama adalah haram dan bid'ah, kecuali ada dalil dari al-Kitab atau al-Sunnah yang menunjukan kebolehannya".

    Penjelasan al-Imam al-Utsaimin tersebut merupakan fakta yang bisa di bantah lagi bahwa ulama besar Kaum Wahabi yang sangat di kagumi oleh pengikutnya itu ternyata ulama yang lemah dalam berpendapat dan tidak konsisten bahkan lupa dengan apa yang ia katakan sendiri.

    Pada pernyataan yang pertama, al-Utsaimin mengatakan dengan tegas bahwa setiap bid'ah adalah sesat, membagi bid'ah menjadi tiga atau pun lima bagiann itu tidak di benarkan, siapapun pelakunya akan masuk neraka. Namun pada pernyataan kedua al-Utsaimin justru membagi bid'ah menjadi dua, bid'ah urusan dunia dan bid'ah urusan agama, ada bid'ah yang halal adapula bid'ah yang haram.

    Al-Imam Taqiyuddin Ahmad Ibn al-Hakim Ibn Taimiyah al-Harrari atau yang lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Taimiyah, ikut memberi legitimasi tentang bid'ah. Ia adalah figur yang yang ajarannya menjadi ideologi pertama bagi kaum Wahabi. Ia di anggap bersih dari bid'ah. Tak heran, jika tokoh ini begitu di kagumi oleh para pengikutnya.

    Ibn Taimiyah

    Ia lahir tahun 661 H / 1263 M dan wafat pada tahun 728 H / 1327 M. Oleh karena kealimannya, ia di sebut "Syeikh al-Islam" dan "Mufti al-Umat". Dalam kitabnya, al-Iqtidha al-Shirat al-Mustaqim, dengan jelas ia menunjukan sikap kontra terhadap bid'ah dan mencela ulama yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah.

    Namun ternyata Syeikh Imam Ibn Taimiyah sendiri melakukan perbuatan bid'ah. Sebagaimana di sampaikan oleh murid terdekatnya yaitu Umar bin Ali al-Bazzar dalam sebuah kutipan kitabnya yang berjudul Manaqib Ibn Taimiyah halaman 38-39 sebagai berikut :

    "Apabila Ibn Taimiyah selesai melakukan Shalat Subuh, maka ia berdzikir kepada Allah swt bersama jama'ah dengan do'a yang datang dari Nabi saw yaitu Allohumma antassalam...lalu ia menghadap ke jama'ah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi saw, lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali dan di akhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. 

    Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdo'a kepada Allah swt untuk dirinya dan untuk jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibnu Taimiyah ini telah maklum, beliau sangat sulit di ajak bicara setelah shalat subuh kecuali terpaksa. Beliau akan terus berdzikir sendiri namun terkadang dapat di dengar oleh orang lain yang berada di sampingnya.

    Di tengah-tengah dzikir itu, ia sering kali menatap pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaan yang ia lakukan hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. 

    Ia sering mendekatkanku kepadanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku sering mendengar apa yang ia baca  dan apa yang di jadikan sebagai dzikirnya. Aku melihatnya selalu membaca surat al-Fatihah, mengulang ualngnya dan menghabiskan waktunya dengan membacanya, yakni mengulang-ulang surat al-Fatihah sejak selesai shalat subuh sampai matahari naik.

    Dalam hal ini aku merenung, mengapa beliau hanya rutin membaca surat alfatihah, tidak yang lainnya?

    Akhirnya aku tahu, wallahu a'alamu, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits Rosululloh saw dan apa yang di sebutkan oleh para ulama. Yaitu apakah pada saat itu di sunatkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Rosululloh saw dari pada membaca al-Qur'an, atau sebaliknya?

    Beliau berpendapat, dengan membaca al-fatihah berulang ualng berarti ia menggabungkan dua pendapat dan mendapat dua keutamaan. Ini bukti kekuatan dan kecerdasan hati beliau yang Jitu".

    Perbuatan yang di lakukan oleh Ibn Taimiyah seperti yang di ceritakan oleh muridnya itu adalah bid'ah. Karena berdikir sesudah shalat subuh secara bersama-sama atau berjama'ah dengan di pimpin oleh seorang pemimpin seperti yang di lakukan oleh Ibn Taimiyah  tidak pernah di lakukan oleh Nabi saw. Tidak ada Hadits yang menunjukan bahwa Rosulullah saw  pernah melakukannya. Begitu juga bacaan Khusus berupa surat Al-Fatihah yang ia baca berulang-ulang setiap hari setelah shalat subuh sampai matahari naik juga tidak di temukan dalilnya.

    Majlis Ta'lim Ibn Taimiyah

    Padahal untuk menetapkan sesuatuu yang bersifat ibadah dengan waktu dan bacaan tertentu membutuhkan dalail yang konkrit. Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah di atas jelas mengada-ada (bid'ah ) dalam urusan agama berdasarkan ijtihadnya sendiri.

    Dzikir secara berjamaah yang ada selama ini adalah bid'ah hasanah yang di prakarsai oleh Ibnu Taimiyah. Andai saja kelompok Wahabi mengerti hal ini, Alangkah baiknya mereka secara sadar segera menyadari kekeliruan persepsinya selama ini.

    Kaum Wahabi tetap kukuh dengan keyakinannya bahwa segala perbuatan yang tidak di lakukan oleh Rosululloh saw di hukumi bid'ah, serta hal itu di larang di lakukan oleh generasi sesudahnya.

    Pemahaman seperti itu jelas bertentangan dengan apa yang di contohkan oleh Nabi saw. Beliau tidak pernah melarang apalagi menyatakan haram (bid'ah) terhadap segala perbuatan baik.

    Ada kisah menarik dalam sebuah hadits yang di riwayatkan sekaligus di alami sendiri oleh sahabat Rasulullah saw yang bernama Rifa'ah bin Rafi dalam hadits yang di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut :

    Rifa'ah bin Rafi Berkata :
    "suatu saat aku shalat bersama Nabi saw, ketika beliau bangun dari ruku' beliau berkata "sami' Allahu liman hamidah", 
    lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata, "Robbana walakal hamdu hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih", 
    Setelah selesai shalat beliau bertanya,"Siapakah yang membaca kalimat tadi?", 
    Laki-laki itu menjawab,"aku',
    Beliau bersabda,"Aku telah melihat lebih dari 30 malaikat berebut menulis pahala kalimat tersebut".

    Hadits ini di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam: 
    • Dalam kitab Shahih Imam al-Bukhari No. 799. 
    • Dalam Kitab Sunan al-Nasaa'i, No. 1016.
    • Dalak Kitab Sunan Abu Dawud. No. 770.
    • Dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal, juz 4, halaman 340, No.19018.
    • Dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, No. 614.
    Dalam keterangan hadits di atas, Rasullullah saw sama sekali tidak melarang apa yang di lakukan oleh sahabat Rifa'ah bin Rafi. Padahal Rasulullah saw tidak pernah melakukan hal tersebut dan tidak pernah memerintahkann untuk melakukannya.

    Apa yang di lakukan sahabat Rifa'ah bin Rafi adalah bid'ah yang di lakukan di depan Nabi saw. Tapi Nabi sw tidak melarangnya malah memberikan pujian dan kabar baik akan besarnya pahala yang di peroleh karena perbuatannya tersebut. 

    Dengan demikian, apa yang menjadi keyakinan golongan Wahabi mengenai bid'ah sebagaimana yang di sampaikan oleh al-Utsaimin bertentangan dengan ajaran Nabi saw secara tidak langsung. Al-Utsaimin telah menuduh para sahabat Nabbi saw yang melakukan bid'ah adalah sesat dan masuk neraka.



    Dan anehnya, jika bid'ah itu di lakukan golongan lain, dengan serta merta golongan Wahabi akan menyatakan dengan tegas bahwa perbuatan itu sesat, haram dan masuk neraka, akan tetapi apabila bid'ah tersebut di lakukan oleh golongannya maka mereka akan diam seribu bahasa bahkan memujinya. Banyak perbuatan yang mereka nyatakan sebagi bid'ah dan haram justru di lakukan oleh ulama-ulama terkemuka dari golongan mereka.

    Jumhur Ulama sepakat bahwa ajaran yang melahirkan banyak kontrofersi, justru menunjukan ketidak benaran dan kebathilan ajaran tersebut. Sedangkan ajaran yang benar hanya datang dari sisi Allah Swt. Ajaran yang tidak barasal dari sisi-Nya hanya berdasarkan pendapat akal manusia yang mencoba-coba mencari kebenaran, akan bersifat lemah dan tidak memiliki sandaran. Akibatnya akan kontradiktif dengan pendapatnya sendiri.

    Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 82 :

    "...seandainya al-Qur'an itu bukan datang dari sisi Allah, maka tentulah mereka mendapati banyak pertentangan di dalamnya".

    Pertentangan yang ada pada suatu ajaran menunjukan bahwa ajaran itu bukan datang dari sisi Allah. Sehingga, ajaran yang bukan datang dari sisi Allah swt merupakan ajaran yang salah, sesat dan pasti bathil. Tegasnya, Orang yang memiliki ajaran bathil pasti kontradiktif dengan ajarannya sendiri.


    Bid'ah Menurut Golongan Ahli Sunnah Wal Jama'ah
    Sebagaimana tertulis pada sub bab sebelumnya, selain Wahabi, Hukum bid'ah terbagi-bagi, ada yang halal adapula yang haram.  Pendapat ini mengacu pada pendapat kebanyakan ulama Ahli Sunnah Wal Jama'ah. 

    Dalam memastikuan hukum bid'ah ini, sebaiknya kita merujuk kepada hadits Nabi saw yang pernah beliau sampaikan pada waktu kutbah Jum'at saat beliau melaksanakamn haji Wada'. Rosululloh saw bersabda :

    Dari Jabir bin Abdullah ra berkata," sesungguhnya Rasulullah saw bersabda,"Sesungguhnya sebaik-baiknya perkataan yang benar adalah kitabullah, dan seutama-utamanya  petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan sejelek-jeleknya perkara adalah yang memperbaharuinya dan setiap yang baru adalagh bid'ah, dan setiap yang bid'ah adalah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka." (HR. Ahmad )

    Hadits ini di riwayatkan oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam :
    • Musna Ahmad bin Hanbal, juz 3, halaman 310, No. 14373.
    • Shahih Muslim, Juz 2, Halaman 592, No. 867
    • Sunnah al-Nasaa'i, juz 3, halaman 188, No. 1578.
    • Sunan Ibnu Majah, juz 1, halaman 17, No. 45
     Untuk mengetahui makna bid'ah pada hadits tersebut di butuhkan kehati-hatian, ketelitian dan kejelian agar mengetahui maksudnya dengan benar. Kata bid'ah di sini mengandung makna al-Muhdatsaatuha, artinya membuatnya menjadi baru. Dalam arti memperbaharui kitabullah dan hadits Nabi saw, sehingga menjadi sebuah ajaran baru yang bertentangan dan tidak termasuk dalam ajaran Nabi saw.

    Tidak semua bid'ah itu sesat, tapii bid'ah yang bersifat al-Muhdatsat saja. Sebagaimana hadits Nabi saw yang di riwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari Sayyidatina Aisyah ra memberikan kejelasan tentang hal itu dengan sabdanya :
    "Barang siapa yang merubah permasalahan agamaKu sehingga menjadi ajaran yang tidak terdapat dalam ajaranku maka ajaran itu tertolak"

    Hadits ini di riwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam :
    • Kitab Shahih al-Bukhari, juz 9, halaman 202, No. 2499
    • Kitab Shahih Muslim, juz 9, halaman 118, No. 3242
    • Kitab Sunan Abu Dawud, juz 12, halaman 210, No. 3990
    • Kitab Sunan Ibnu Majah, juz 1, halaman 17, No. 14
    • Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 6, Halaman 260, No. 26372, dan Imam Ahmad bin hanbal menilai hadits ini shahih. 
    Isi hadits tersebut sangat transparan, yaitu hanya bid'h dalam permasalahan agama (al-amr al-Diniyyah) saja yang di larang. Mengada-ada perkara baru dalam soal dunia di perbolehkan, karena hukumm asal perkara dunia adalah boleh (mubah). Dengan kata lain, bid'ah dalam urusan dunia di perbolehkan.

    Bid'ah dalam urusan agama ada dua bagian, yaitu bid'ah muhdatsat dan bid'ah ghairu muhdatsat. 

    Bid'ah Muhdatsat
    Bid'ah muhdatsat adalah bid'ah yang sifatnya mengubah ajaran yang sudah di tetapkan Nabi saw baik bersumber dari al-Qur'an ataupun al-Hadits. Segala jenis bid'ah ini adalah hukumnya haram secara mutlak. Inilah yang di sebut bid'ah Dhalalh. Inilah yang di maksud hadits "setiap bid'ah itu sesat", yakni bid'ah yang membuat ajaran baru sehingga bertentangan dengan ketetapan syariat yang sudah ada.

    Dalam al-Qur'an surat al-Syura ayat : 21

    "...mereka mensyariatkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak di izinkan (tidak di syariatkan) Allah?...(QS. Al-Syura : 21)


    Bid'ah Ghairu Muhdatsat
    Bid'ah Ghairu Muhdatsat adalah bid'ah yang bersifat tidak merubah ajaran Nabi saw. Bid'ah ini di sebut juga bid'ah hasanah, dan hukumnya di perbolehkan. 

    Terkait dengan pembagian Bid'ah, Syeukh al-Imam Izzuddin bin Abdissalam mengemukakan pendapatnya yang cukup signifikan dalam kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz 2, halaman 133, sebagai berikut :

    "Bida'ah terbagi menjadi 5 bagian, ada bid'ah yang wajib, ada bid'ah yang haram, ada bid'ah yang sunnah, ada bid'ah yang makruh dan adapula bid'ah yang mubah".



    Pembagian Bid'ah menurut al-Imam al-Syafi'i

    Pembagian Bid'ah meurut Ibnu Taimiyah

    Hukum dasar bid'ah yang tidak merubah ajaran Nabi saw adalah mubah. Karena hukum boleh itu merupakan hukum dasar, maka bila bid'ah itu berhubungan dengan perkara wajib, tentu saja bid'ahnya menjadi wajib.

    Contoh :
    Memahami al-Qur'an dan Hadits adalah wajib bagi umat Islam. Karena keduanya adalah sumber hukum dan petunjuk kebenaran. Sedangkan kita tahu bahwa bahas al-Qur'an adalah bahasa Arab, maka untuk memahami al-Qur'an kita harus bisa bahasa Arab. Bahasa Arab tidak bisa lepas dari ilmu Nahwu dan Ilmu Sharaf sebagai ilmu tata bahasa Arab. Tidak mungkin  mempelajari bahasa tanpa mempelajari tata bahasanya.

    Mempelajari ilmu Nahwu dan ilmu Sharaf untuk mengerti isi dan kandungan al-Qur'an dan al-Hadits merupakan sebuah keharusan. Dengan demikian, sangatlah rasional jika mempelajari keduanya juga wajib. Padahal, ilmu Nahwu dan ilmu Sharaf tidak ada pada jaman Nabi saw. Berarti kedua ilmu itu adalah bid'ah. Namun karena mempelajari keduanya adalah sebuah keharusan maka hukum bid'ahnya pun jadi wajib.

    Seandainya mengikuti kelompok Wahabi yang menyatakan semua jenis bid'ah adlah sesat dan haram hukumnya serta pelakunya masuk neraka, maka sudah bisa di tebak, apalah jadinya umat Islam di luar bangsa Arab seperti kita yang ada di Indonesia ini. 

    Hanya karena alasan bid'ah, ilmu Nahwu dan ilmu Sharaf di larang dan di haramkan untuk di pelajari. Konsekwensi logisnya adalah al-Qur'an dan al-Hadits tidak mungkin bisa dipelajari.

    Baca Juga : Hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam

    Sumber Tulisan : 
    Berbagai buku....

    Sumber Gambar :
    Google...



     
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini