masukkan script iklan disini
POTRET PERTANIAN - Jakarta, Peluang bisnis florikultura (tanaman hias) ternyata cukup wangi. Masih banyak florikultura yang diimpor menunjukkan permintaan cukup tinggi. Artinya ada kesempatan besar produk dalam negeri mengisi pasar dalam negeri. Belum lagi permintaan di pasar dunia juga terus naik.
Ketua Asosiasi Bunga Indonesia (Asbindo), Hesti Widayani mengatakan, dengan keanekaragaman hayati di dalam negeri sangat banyak, potensi Indonesia untuk mengembangkan florikultura cukup besar. Misalnya, potensi anggrek mencapai 5-6 ribu species, paku-pakuan lebih dari 4 ribu species, palem 576 species dan begonia mencapai 213 species.
“Dengan luasnya wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke dan ribuan pulau membuat ragam hayati menjadi sangat banyak,” katanya saat FGD Kiat Sukses Bisnis dan Ekspor Florikultura yang diselenggarakan Tabloid Sinar Tani di Jakarta, Rabu (23/6).
Kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini menrut Hesti juga menjadi peluang untuk mengembangkan tanaman hias. Gaya hidup masyarakat Indonesia yang berubah dan lebih hidup sehat membuat banyak orang kini hobi berkebun, meski di lahan terbatas. “Saat pandemi banyak yang diam di dalam rumah, sehingga mereka memerlukan kegiatan, salah satunya tanaman hias,” ujarnya.
Peluang lainya nampak masih ada tanaman hias yang diimpor, khususnya yang berasal dari negara subtropis. Sebagai substitusi impor, ternyata tanaman hias tersebut bisa dibudidayakan di Indonesia di lahan dataran tinggi.
“Kalau dilihat dari data ekspor dan impor florikultura, ternyata impor kita masih lebih tinggi. Ini artinya pasar florikultura cukup besar, karena masih banyak impor. Artinya permintaannya cukup besar,” katanya.
Sementara itu, CEO Minaque Home Nature, Ade Wardhana mengatakan, dalam ekspor florikultura, pihaknya telah mempunyai jaringan pasar global di tiga benua yakni Eropa, Australia dan Amerika dan 15 negara di dunia.
Ke-15 negara itu yakni, Jerman, Belanda, United Kingdom, Korea Selatan, Kanada, Polandia, Negara bagian AS (Florida, California, Seatle), Belgia, Norwegia, Francis, Nigeria, Hongkong, Malaysia, Singapore dan Australia. “Data AIPH global, pertumbuhan pasar folrikultura global mencapai 28,98 billion dollar AS antara 2020-2024 atauu 6 persen,” katanya.
Problem Pengembangan
Namun demikian Ade mengakui, problem pengembangan florikultura di Indonesia masih cukup banyak. Bahkan pelaku usaha jauh tertinggal dengan negara-negara Eropa dan Amerika Selatan. “Ada jenis tanaman yang sejak 2007 sudah ditingggal di Belanda, tapi di Inodneisa masih terus kembangkan, bahkan kita impor bibit dari Taiwan,” katanya.
Problem lainnya menurut Ade adalah, standarisasi produk, akses pasar global yang belum banyak tersentuh dan adaptasi dengan teknologi. Karena itu, Minaque memberikan solusi dengan menerapkan standar budidaya dan pebenihan, meningkatkan kolaborasi dan kerjasama, serta ekspansi pasar global. “Kita saat ini tengah bersiap aksusi perusahaan di Siprus untuk masuk pasar Afrika,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur CV Poktan Alamanda Sejahtera (PAS), Anas Anis mengatakan, jika ingin menembus pasar ekspor florikultura dan memenuhi tuntutan konsumen, pelaku usaha harus memiliki keahlian menerapkan proses budidaya, penanganan pasca panen, dan pengolahan yang baik dan benar
Kementerian Pertanian telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/OT.140/5/2013 tentang Pedoman Budidaya Florikultura yang Baik dengan istilah yang kita kenal GAP (Good Agriculture Practices). “Dalam budidaya pelaku usaha harus menjamin pelestarian, kesuburan lahan, penggunaan sumber daya dan sistem produksi yang berkelanjutan atau ramah lingkungan,” ujarnya.
Untuk itu, kata Anas, pihaknya juga melakukan berbagai hal, khususnya kepada petani binaan. Diantara, regitsrasi lahan, menerapkan GAP sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) budidaya spesifik tanaman dan spesifik lokasi, menerapkan kaidah pengendalian hama terpadu (PHT) untuk menghasilkan produk yang aman, bermutu, ramah lingkungan dan berdaya saing.
Dalam penanganan produk yang akan diekspor, Anas mengatakan, pihaknya juga menerapkan pasca panen yang baik (Good Handling Prantices/GHP), serta penerapan pengolahan yang baik (Good Manufacturing Practices/GMC). “Kami juga mengajarkan petani memiliki buku catatan usaha tani yang sedang dilakukan,” katanya.
Satu catatan penting dari Anas, pelaku usaha juga harus mengerti regulasi pemerintah di dalam negeri dan negara tujuan ekspor. Di era digital, pelaku usaha juga harus mulai menerapkan teknologi informasi.
Banyak yang pelaku usaha harus pahami jika ingin menembus pasar ekspor? Lengkapnya, bisa diunduh di link materi atau bisa melihat kembali paparan narasumber di link Youtube-nya.