masukkan script iklan disini
POTRET PERTANIAN - Perkebunan kelapa sawit yang banyak dibudidayakan di indonesia, mulai dari pulau kalimantan dan sumatera yang banyak dikembangkan dilahan-lahan pertanian dan menjadi primadona dikalangan petani dan pengusaha perkebunan baik dari dalam dan luar negeri yang berinvestasi di Indonesia.
Dilansir dari Dirjen Perkebunan : Pertanian Pengembangan komoditas ekspor kelapa sawit terus meningkat dari tahun ke tahun, terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit selama 2004 - 2014 sebesar 7,67%, sedangkan produksi kelapa sawit meningkat rata-rata 11,09% per tahun.
Peningkatan luas areal tersebut disebabkan oleh harga CPO yang relatif stabil di pasar internasional dan memberikan pendapatan produsen, khususnya petani, yang cukup menguntungkan.
Berdasarakan buku statistik komoditas kelapa sawit terbitan Ditjen Perkebunan, pada Tahun 2014 luas areal kelapa sawit mencapai 10,9 juta Ha dengan produksi 29,3 juta ton CPO. Luas areal menurut status pengusahaannya milik rakyat (Perkebunan Rakyat) seluas 4,55 juta Ha atau 41,55% dari total luas areal, milik negara (PTPN) seluas 0,75 juta Ha atau 6,83% dari total luas areal, milik swasta seluas 5,66 juta Ha atau 51,62%, swasta terbagi menjadi 2 (dua) yaitu swasta asing seluas 0,17 juta Ha atau 1,54% dan sisanya lokal.
Ditengah pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit ini Indonesia terus membenahi tata kelola perkebunan sawit demi terciptanya pengelolaan yang berkelanjutan. Pembenahan dilakukan bukan atas desakan dari negara lain melainkan untuk kepentingan Nasional.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi menjelaskan, langkah untuk mendorong sawit lestari diantaranya dengan melakukan percepatan peremajaan sawit rakyat, perbaikan tata kelola sawit, serta sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menjamin produk yang bersertifikat diproduksi secara legal dan petani telah mengikuti standar tertentu di bidang lingkungan hidup.
Langkah lainnya adalah dengan pembenahan perizinan dan juga mendorong kemitraan antara perusahaan dengan kebun rakyat. “Kemitraan ini sangat penting dimana mengajak perusahaan dengan kebun petani rakyat yang ada disekitar wilayahnya memang harus melakukan kemitraan,” kata Dedi ketika dihubungi Jumat, (6/7/2018).
Sejauh ini, lanjutnya, peremajaan sudah berjalan untuk mencapai target 185.000 hektare (ha). Hal ini sekaligus sebagai pintu masuk tata kelola sawit di Indonesia khususnya kebun rakyat.
Peremajaan, kata Dedi, akan meningkatkan kualitas sawit indonesia dan ramah lingkungan dengan adanya benih yang diperoleh memiliki sertifikat yang jelas, bibit unggul, penguatan kelembagaan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam bentuk koperasi.
“Nantinya akan ada Surat Keputusan (SK) di setiap daerah oleh Bupati, dimana kebun rakyat bermitra dengan perusahaan. Jadi intinya perusahaan membina kebun rakyat,” katanya.
Dedi berharap, dengan adanya sertifikat ISPO dapat memberikan dampak yang baik untuk sawit Indonesia. Dia menyatakan perlu adanya bimbingan terhadap kebun sawit rakyat, “Indonesia merupakan negara satu-satunya yang berinisiasi melakukan pembuatan sertifikat ISPO,” ungkapnya.
Dedi menambahkan untuk mengaungkan langkah-langkah pembenahan tata kelola kebun sawit di Indonesia, pihaknya mengusulkan diselenggarakannya workshop berskala internasional di tahun 2019. Lewat acara berkelas global, maka peranan perkebunan sawit, khususnya kebun sawit rakyat, akan dipahami oleh dunia. Apalagi, 43% lahan perkebunan adalah perkebunan rakyat yang perlu di dorong.
Dia menyatakan, perkebunan sawit adalah gantungan hidup bagi jutaan petani. Jika mereka tidak bisa mendapat penghasilan usaha tersebut akibat hambatan perdagangan, maka itu bisa memicu dampak buruk berupa meningkatnya illegal logging. “Kalau sawit tidak bisa dijual, petani akan beralih ke (tebang) kayu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Perbaikan tata kelola perkebunan sawit juga dilakukan dalam konteks ketenagakerjaan. Menurut Dedi, sosialisasi agar perusahaan perkebunan sawit mematuhi regulasi ketenagakerjaan terus dilakukan.
Dedi menuturkan, banyakanya kampanye dan upaya yang dilakukan untuk menghambat minyak sawit telah berdampak pada melemahnya penetrasi ekspor produk berbasis minyak sawit, khususnya ke Uni Eropa.
Terkait putusan trilog Dewan Eropa, Parlemen Eropa dan Komisi Eropa yang masih memberi kesempatan produk bahan bakar nabati berbasis minyak sawit untuk digunakan sebagai bagian dari arahan penggunaan energi terbarukan di Uni Eropa sampai 2030, Dedi menyatakan pihaknya masih menunggu informasi yang lebih detil. “Belum ada putusan nanti akan di-voting bulan Oktober,” kata Dedi.
Kedaulatan
Sementara itu Senior Advisor Yayasan Kehati, Diah Suradiredja mengatakan, pembenahan tata kelola perkebunan kelapa sawit bukanlah hal mudah. Oleh karena itu, upaya ini harus dilakukan dengan komitmen yang kuat secara komprehensif dari kepala negara hingga ke level pelaksana di tingkat tapak.
Menurut Diah, tata kelola hutan memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk kebijakan perkebunan kelapa sawit lestari. Reformasi pertanahan, reformasi agraria, perhutanan sosial, kebijakan pemetaan, penggunaan teknologi terbaru, dan penegakan hukum adalah beberapa implementasi kebijakan utama yang telah dilaksanakan oleh Indonesia dalam hal-hal yang berkaitan dengan kelapa sawit. Semua kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan, termasuk kepentingan sosial, ekologi, dan ekonomi.
“Indonesia harus melakukan upaya tersebut bukan karena tekanan pasar luar negeri.Karena sejatinya pasar minyak sawit terbesar ada di Indonesia, bukan di luar negeri. Indonesia harus melakukannya karena kepentingan diri sendiri dalam kegiatan ekonomi yang berkelanjutan untuk generasi masa depan kita,” kata Diah mengingatkan.
Diah menuturkan, upaya perbaikan tata kelola hutan terkait perkebunan sawit lestari kini sedang dijalankan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia berharap upaya tersebut bisa didukung oleh semua pihak di tanah air, termasuk komunitas internasional. “Lagi pula, kita orang Indonesia bertanggung jawab atas mata pencaharian dan lingkungan kita sendiri. Kita tidak dikenal sebagai bangsa yang mencari sedekah dari jauh,” katanya.
Diah menegaskan, kelapa sawit adalah komoditas strategis bagi Indonesia. Komoditas tersebut memainkan peran penting penyediaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, penyediaan pendidikan dan penghidupan bagi jutaan masyarakat Indonesia. Menghentikan masyarakat menanam kelapa sawit atau memblokir produk yang dihasilkan berdasarkan alasan yang tidak tepat, terutama soal proteksionisme, adalah tindakan yang tidak realistis dan tidak bertanggung jawab.
Diah mengakui, memang masih ada persoalan terkait sosial, hukum dan lingkungan dalam pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan. Namun, hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk menghentikan kegiatan perkebunan kelapa sawit dan menjerumuskan jutaan orang ke dalam penganguran dan kemiskinan. “Itu bertentangan dengan semangat tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG),” katanya.
Menurut Diah, yang perlu segera dicapai Indonesia dalam pengelolaan kebun sawit adalah keseimbangan antara kebutuhan sosial dan ekonomi manusia, terutama warga negara Indonesia, dengan perlindungan lingkungan. Ini bukan khayalan mengingat Indonesia telah membuktikan hal itu bisa dicapai saat mengembangkan kebijakan perlindungan kayu legal dan lestari lewat sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).
“Ini adalah bukti jika gagasan yang hendak dibentuk oleh beberapa pihak di tanah air dan di luar negeri, terutama oleh beberapa politisi Uni Eropa, bahwa Indonesia tak bisa mengelola hutan dan lingkungannya adalah sangat tidak tepat,” katanya.
Ditanya pendapatnya soal penyelesaian kebun yang terlanjur dibangun di kawasan hutan, Diah menyatakan pemerintah perlu punya satu data terkait luasan kebun sawit. Ini tak lepas dari banyaknya data yang berbeda-beda antarinstansi pemerintah. Data yang valid bisa menjadi alas kebijakan tentang sawit berkelanjutan. “Termasuk berapa luas lahan sawit yang berasal dari kawasan hutan yang sesuai prosedur pelepasan dan yang eksisting di kawasan hutan selama 15 tahun terakhir,” katanya.
Jika sudah ada data valid, maka penyelesaian secara litigasi bisa dilakukan untuk perkebunan yang dikelola perusahaan. Sementara untuk kebun sawit yang benar-benar dikelola oleh rakyat, bisa diselesaikan melalui jalur Non Litigasi.
“Untuk sawit rakyat yang telah berusia lebih dari 5 tahun bisa diselesaikan dengan skema perhutanan sosial. Tapi daur sawit yang diperkenankan bisa direvisi dari 12 tahun menjadi satu daur,” katanya.
Sementara melalui mekanisme TORA bisa dilakukan dengan catatan setiap kepala keluarga mendapat alokasi lahan tidak lebihdari 5 hektare. Kemitraan juga perlu dilakukan dengan pengelola saat ini baik pemegang izin usaha kehutanan maupun Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) melalui agroforestry. “Kemitraan ini berlaku untuk sawit yang sudah berumur diatas 5 tahun dan hanya diperbolehkan 1 daur untuk sawit dan dilakukan penanaman tanaman hutan dengan menggunakan pendekatan landscape,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono mengatakan, keputusan Uni Eropa untuk menunda pembatasan biofuel berbasis minyak sawit dapat menjadi solusi jangka pendek. Dengan adanya penundaan ini, posisi Indonesia cukup bagus untuk mempertimbangkan hubungan perdagangan beberapa negara Eropa.
“Indonesia juga punya peluang untuk meningkatkan ekspor sawit ke Uni Eropa dan mencari negara ekspor lainnya agar tidak hanya bergantung dengan Eropa,” tegasnya. Sabrina/Sugiharto
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi menjelaskan, langkah untuk mendorong sawit lestari diantaranya dengan melakukan percepatan peremajaan sawit rakyat, perbaikan tata kelola sawit, serta sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menjamin produk yang bersertifikat diproduksi secara legal dan petani telah mengikuti standar tertentu di bidang lingkungan hidup.
Langkah lainnya adalah dengan pembenahan perizinan dan juga mendorong kemitraan antara perusahaan dengan kebun rakyat. “Kemitraan ini sangat penting dimana mengajak perusahaan dengan kebun petani rakyat yang ada disekitar wilayahnya memang harus melakukan kemitraan,” kata Dedi ketika dihubungi Jumat, (6/7/2018).
Sejauh ini, lanjutnya, peremajaan sudah berjalan untuk mencapai target 185.000 hektare (ha). Hal ini sekaligus sebagai pintu masuk tata kelola sawit di Indonesia khususnya kebun rakyat.
Peremajaan, kata Dedi, akan meningkatkan kualitas sawit indonesia dan ramah lingkungan dengan adanya benih yang diperoleh memiliki sertifikat yang jelas, bibit unggul, penguatan kelembagaan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam bentuk koperasi.
“Nantinya akan ada Surat Keputusan (SK) di setiap daerah oleh Bupati, dimana kebun rakyat bermitra dengan perusahaan. Jadi intinya perusahaan membina kebun rakyat,” katanya.
Dedi berharap, dengan adanya sertifikat ISPO dapat memberikan dampak yang baik untuk sawit Indonesia. Dia menyatakan perlu adanya bimbingan terhadap kebun sawit rakyat, “Indonesia merupakan negara satu-satunya yang berinisiasi melakukan pembuatan sertifikat ISPO,” ungkapnya.
Dedi menambahkan untuk mengaungkan langkah-langkah pembenahan tata kelola kebun sawit di Indonesia, pihaknya mengusulkan diselenggarakannya workshop berskala internasional di tahun 2019. Lewat acara berkelas global, maka peranan perkebunan sawit, khususnya kebun sawit rakyat, akan dipahami oleh dunia. Apalagi, 43% lahan perkebunan adalah perkebunan rakyat yang perlu di dorong.
Dia menyatakan, perkebunan sawit adalah gantungan hidup bagi jutaan petani. Jika mereka tidak bisa mendapat penghasilan usaha tersebut akibat hambatan perdagangan, maka itu bisa memicu dampak buruk berupa meningkatnya illegal logging. “Kalau sawit tidak bisa dijual, petani akan beralih ke (tebang) kayu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Perbaikan tata kelola perkebunan sawit juga dilakukan dalam konteks ketenagakerjaan. Menurut Dedi, sosialisasi agar perusahaan perkebunan sawit mematuhi regulasi ketenagakerjaan terus dilakukan.
Dedi menuturkan, banyakanya kampanye dan upaya yang dilakukan untuk menghambat minyak sawit telah berdampak pada melemahnya penetrasi ekspor produk berbasis minyak sawit, khususnya ke Uni Eropa.
Terkait putusan trilog Dewan Eropa, Parlemen Eropa dan Komisi Eropa yang masih memberi kesempatan produk bahan bakar nabati berbasis minyak sawit untuk digunakan sebagai bagian dari arahan penggunaan energi terbarukan di Uni Eropa sampai 2030, Dedi menyatakan pihaknya masih menunggu informasi yang lebih detil. “Belum ada putusan nanti akan di-voting bulan Oktober,” kata Dedi.
Kedaulatan
Sementara itu Senior Advisor Yayasan Kehati, Diah Suradiredja mengatakan, pembenahan tata kelola perkebunan kelapa sawit bukanlah hal mudah. Oleh karena itu, upaya ini harus dilakukan dengan komitmen yang kuat secara komprehensif dari kepala negara hingga ke level pelaksana di tingkat tapak.
Menurut Diah, tata kelola hutan memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk kebijakan perkebunan kelapa sawit lestari. Reformasi pertanahan, reformasi agraria, perhutanan sosial, kebijakan pemetaan, penggunaan teknologi terbaru, dan penegakan hukum adalah beberapa implementasi kebijakan utama yang telah dilaksanakan oleh Indonesia dalam hal-hal yang berkaitan dengan kelapa sawit. Semua kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan, termasuk kepentingan sosial, ekologi, dan ekonomi.
“Indonesia harus melakukan upaya tersebut bukan karena tekanan pasar luar negeri.Karena sejatinya pasar minyak sawit terbesar ada di Indonesia, bukan di luar negeri. Indonesia harus melakukannya karena kepentingan diri sendiri dalam kegiatan ekonomi yang berkelanjutan untuk generasi masa depan kita,” kata Diah mengingatkan.
Diah menuturkan, upaya perbaikan tata kelola hutan terkait perkebunan sawit lestari kini sedang dijalankan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia berharap upaya tersebut bisa didukung oleh semua pihak di tanah air, termasuk komunitas internasional. “Lagi pula, kita orang Indonesia bertanggung jawab atas mata pencaharian dan lingkungan kita sendiri. Kita tidak dikenal sebagai bangsa yang mencari sedekah dari jauh,” katanya.
Diah menegaskan, kelapa sawit adalah komoditas strategis bagi Indonesia. Komoditas tersebut memainkan peran penting penyediaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, penyediaan pendidikan dan penghidupan bagi jutaan masyarakat Indonesia. Menghentikan masyarakat menanam kelapa sawit atau memblokir produk yang dihasilkan berdasarkan alasan yang tidak tepat, terutama soal proteksionisme, adalah tindakan yang tidak realistis dan tidak bertanggung jawab.
Diah mengakui, memang masih ada persoalan terkait sosial, hukum dan lingkungan dalam pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan. Namun, hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk menghentikan kegiatan perkebunan kelapa sawit dan menjerumuskan jutaan orang ke dalam penganguran dan kemiskinan. “Itu bertentangan dengan semangat tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG),” katanya.
Menurut Diah, yang perlu segera dicapai Indonesia dalam pengelolaan kebun sawit adalah keseimbangan antara kebutuhan sosial dan ekonomi manusia, terutama warga negara Indonesia, dengan perlindungan lingkungan. Ini bukan khayalan mengingat Indonesia telah membuktikan hal itu bisa dicapai saat mengembangkan kebijakan perlindungan kayu legal dan lestari lewat sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).
“Ini adalah bukti jika gagasan yang hendak dibentuk oleh beberapa pihak di tanah air dan di luar negeri, terutama oleh beberapa politisi Uni Eropa, bahwa Indonesia tak bisa mengelola hutan dan lingkungannya adalah sangat tidak tepat,” katanya.
Ditanya pendapatnya soal penyelesaian kebun yang terlanjur dibangun di kawasan hutan, Diah menyatakan pemerintah perlu punya satu data terkait luasan kebun sawit. Ini tak lepas dari banyaknya data yang berbeda-beda antarinstansi pemerintah. Data yang valid bisa menjadi alas kebijakan tentang sawit berkelanjutan. “Termasuk berapa luas lahan sawit yang berasal dari kawasan hutan yang sesuai prosedur pelepasan dan yang eksisting di kawasan hutan selama 15 tahun terakhir,” katanya.
Jika sudah ada data valid, maka penyelesaian secara litigasi bisa dilakukan untuk perkebunan yang dikelola perusahaan. Sementara untuk kebun sawit yang benar-benar dikelola oleh rakyat, bisa diselesaikan melalui jalur Non Litigasi.
“Untuk sawit rakyat yang telah berusia lebih dari 5 tahun bisa diselesaikan dengan skema perhutanan sosial. Tapi daur sawit yang diperkenankan bisa direvisi dari 12 tahun menjadi satu daur,” katanya.
Sementara melalui mekanisme TORA bisa dilakukan dengan catatan setiap kepala keluarga mendapat alokasi lahan tidak lebihdari 5 hektare. Kemitraan juga perlu dilakukan dengan pengelola saat ini baik pemegang izin usaha kehutanan maupun Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) melalui agroforestry. “Kemitraan ini berlaku untuk sawit yang sudah berumur diatas 5 tahun dan hanya diperbolehkan 1 daur untuk sawit dan dilakukan penanaman tanaman hutan dengan menggunakan pendekatan landscape,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono mengatakan, keputusan Uni Eropa untuk menunda pembatasan biofuel berbasis minyak sawit dapat menjadi solusi jangka pendek. Dengan adanya penundaan ini, posisi Indonesia cukup bagus untuk mempertimbangkan hubungan perdagangan beberapa negara Eropa.
“Indonesia juga punya peluang untuk meningkatkan ekspor sawit ke Uni Eropa dan mencari negara ekspor lainnya agar tidak hanya bergantung dengan Eropa,” tegasnya. Sabrina/Sugiharto