masukkan script iklan disini
POTRET PERTANIAN - Pengembangan Pangan dan Risiko Lingkungan, dilansir dari Detik.com - Penduduk Indonesia setiap tahun mengalami penambahan secara terus-menerus. Sampai saat ini jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 260 juta jiwa. Jumlah yang tidak sedikit dilihat dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Namun demikian dapat juga dipandang sebagai hal yang menguntungkan apabila diiringi dengan kualitas yang tinggi sehingga meningkatkan produktivitas mereka.
Pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan setiap hari mengalami peningkatan seiring dengan penambahan penduduk. Sementara itu luas lahan pertanian terbatas, apalagi di Pulau Jawa justru banyak lahan pertanian irigasi teknis dan subur beralih fungsi ke peruntukan lainnya. Keterbatasan luas lahan pertanian telah mendorong berbagai cara antara lain melalui intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian, penganekaragaman pangan.
Penelitian tentang pengembangan pertanian telah dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Namun, secara intensif dilakukan pengamatan di Daerah Garut Jawa Barat di mana banyak dikembangkan pertanian sayur mayur dalam skala besar. Hasil pertanian banyak dipasarkan ke luar kota seperti Bandung bahkan sampai Jakarta. Lahan pertanian sayur mayur banyak dikembangkan di daerah Cikajang dan sekitarnya. Kondisi lahannya berbukit dan berlereng, sehingga sangat berpotensi erosi di waktu hujan.
Berbagai jenis sayuran seperti kentang, wartel, cabai, kacang panjang, kubis, tomat, dan lain-lain banyak dikembangkan di daerah tersebut. Bahkan petani banyak yang memanfaatkan lahan yang cukup terjal, di area yang semestinya lebih cocok untuk hutan.
Intensifikasi pertanian dilakukan antara lain melalui penggarapan lahan secara intensif. Misalnya, mengolah lahan dengan mesin atau dicangkul sehingga dapat dilakukan dengan cepat, tanah yang dibalik juga lebih dalam. Tanah yang dikupas lebih dalam serta lebih lembut sangat berpotensi terkena erosi atau terbawa aliran air. Pemupukan juga banyak dilakukan baik pupuk daun, pupuk buah, dan lain sebagainya.
Penggunaan bahan kimia sebagai pestisida, seperti herbisida untuk mengendalikan gulma, insektisida untuk mengendalikan serangga, fungisida untuk mengendalikan jamur, tidak mau ketinggalan. Bahkan petani sering menggunakan dengan dosis dan frekuensi yang berlebihan. Ironisnya petani juga sering mencampur berbagai jenis pestisida, dua atau tiga, bahkan empat jenis agar lebih ampuh mengendalikan hama dan penyakit. Pelaksanaan penyemprotan tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD). Kadang menyemprot sambil merokok, habis menyemprot langsung makan tanpa cuci tangan, tidak mandi dulu apalagi ganti pakaian.
Bungkus atau kemasan pestisida juga dibuang sembarangan di sekitar lokasi penyemprotan. Bahkan yang ironis kadang menyimpan pestisida berdekatan dengan bahan makanan. Tindakan petani yang demikian tentu akan membahayakan baik pada dirinya maupun lingkungannya. Petani yang menggunakan pestisida dan tidak sesuai aturan maka dapat terpapar pestisida melalui kulit, pernapasan, maupun makanan.
Memang, risiko belum tentu langsung dirasakan; dapat berselang beberapa lama, mingguan bahkan bisa tahunan. Namun demikian juga tidak mudah untuk memberikan penyuluhan kepada petani agar berperilaku yang benar dalam menggunakan pestisida. Sebagai contoh pada waktu bertemu petani baik pada saat mereka di lapangan maupun pada saat dilakukan pertemuan di musala sehabis salat berjamaah. Ternyata, pada umumnya mereka mengetahui bagaimana seharusnya menyemprot, bahwa harus menggunakan APD, membuang bungkus pestisida yang sudah habis, tidak boleh sambil merokok, tidak boleh langsung makan sebelum mandi, dan lain sebagainya.
Dari pengetahuan secara umum mereka mengetahui, namun demikian dari sisi perilaku, mereka tetap melakukan penyemprotan sesuai keinginan mereka. Mereka mencampur beberapa jenis pestisida, menyemprot tanpa APD, melawan angin, membuang bungkus pestisida sembarangan, menyimpan di tempat yang dekat makanan, dan lain-lain.
Berbagai dampak lingkungan akibat aktivitas pertanian juga sangat komplek dan besar. Dampak kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat juga harus diperhitungkan. Ditambah kondisi daerah yang berbukit-bukit sehingga kurang cocok untuk sayur karena risiko erosi, longsor, banjir sangat tinggi. Apalagi apabila melihat wilayah Garut dan sekitarnya yang mulai terjadi penggundulan lahan, sangat berpotensi besar menimbulkan banjir di daerah hilir di Pantura. Akan lebih bagus apabila untuk daerah tersebut dikembangkan tanaman tahunan seperti kopi, coklat, dan lain sebagainya.
Tanaman tahunan tidak membongkar tanah dalam waktu yang cukup lama. Potensi erosi dapat ditekan. Selanjutnya ke depan dapat dikembangkan ekowisata, misalnya wisata kopi yang berkelanjutan, agar ekonomi Garut juga meningkat. Peran swasta melalui CSR atau Community Development saya rasa dapat membuat pilot project atau percontohan serta pendampingan ke depan. Peran pemerintah daerah dari berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya juga sangat penting.
Suyud Warno Utomo Ketua Program Studi S3 Ilmu Lingkungan Sekolah Ilmu Lingkungan dan Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
(mmu/mmu)